Toxic Bosses: Why the Loudest Ones Often Break First-Time Managers
Banyak teman-teman First Time Manager merasa ekspektasi naik, tapi kepercayaan diri justru turun. Sering kali penyebabnya bukan beban kerja, tapi orang di atas kita. Bukan karena terlalu sibuk tapi terlalu keras. Bos yang toxic bukan hanya bikin hari kita buruk, tapi pelan-pelan mengikis cara kita memimpin.
Saat seorang first-time manager punya atasan yang keras (atau galak gila) yang menekan terus, mempertanyakan semua keputusan, atau menyindir di depan umum, dampaknya jauh lebih dalam dari sekadar “nggak nyaman”. Bos seperti ini bisa bikin kita ragu dengan setiap langkah, mempertanyakan intuisi sendiri, dan akhirnya... kehilangan arah.
Dan anehnya, bukan karena kita kurang capable. Justru banyak manager baru yang performanya bagus, tapi malah makin down karena gaya atasan yang merusak dari dalam.
Kenapa bisa begitu?
Problem: Gaya Keras, Efek Halus Tapi Dalam
Bos keras itu bukan cuma soal nada tinggi atau kritik tajam. Kadang mereka terdengar tenang, tapi kata-katanya menusuk. Kadang mereka nggak marah langsung, tapi ngasih silent treatment selama seminggu. Kadang mereka kasih tugas sambil bilang, “Kalau kamu nggak bisa juga, saya harus turun tangan lagi.”
Yang terjadi bukan cuma tekanan, tapi distorsi internal.
First-time manager mulai merasa harus membuktikan diri terus-menerus. Setiap keputusan dipikir ulang. Setiap ide dilapisi ketakutan. Bukan karena nggak tahu, tapi karena takut salah lagi di mata bos yang nggak pernah puas.
Pahami beberapa hal...
Power Dynamic yang Nggak Seimbang
First-time manager sering belum punya kredibilitas penuh di perusahaan. Jadi kalau atasannya keras, dominan, atau sering meremehkan, nggak banyak ruang untuk membela diri. Komentar sekilas bisa terasa kayak vonis.
Kalimat seperti:
Kalimat kayak gitu bisa bikin kita overthinking seminggu.
Kenapa? Karena ada power gap yang besar. Dan ketika kritik datang dari atas, otak kita sering anggap itu sebagai kebenaran mutlak bukan sekadar opini satu orang.
Confidence Erosion Happens Quietly
Kita sering kira confidence hilang itu kayak satu momen besar. Padahal lebih sering terjadi secara diam-diam. Kayak air menetes di batu.
Satu kali ditegur. Dua kali diremehkan. Tiga kali ide lo diabaikan. Lama-lama, kita mulai mikir: "Gua emang belum siap ya? Mungkin gua terlalu lembek. Mungkin gua bukan leader yang cocok di sini."
Dan dari situlah kelelahan mental muncul. Bukan karena kerjaannya terlalu berat. Tapi karena kita terus mengoreksi diri sendiri dengan standar yang nggak pernah jelas dari atas.
Kita Tanpa Sadar Meniru Gaya Mereka
Ini yang paling berbahaya. First-time manager yang nggak punya role model sehat, cenderung meniru siapa pun yang paling kuat.
Kalau satu-satunya contoh leadership yang kita lihat adalah bos yang kasar, kita pelan-pelan bisa jadi seperti mereka tanpa sadar.
Contohnya?
Kita mulai jawab sinis saat team lambat. Kita mulai kasih tekanan karena “biar mereka belajar tanggung jawab”. Kita mulai mikir: “Mungkin memang harus keras biar jalan.”
Padahal kita lupa: gaya toxic itu mungkin jalan untuk mereka, tapi belum tentu sehat buat kita dan team yang kita pimpin.
Coba yang Simple: Sadari, Validasi, Kelola
Belum tentu kita bisa langsung ganti bos. Tapi kita bisa mengelola dampaknya.
Kalau kita pernah merasa kecil padahal baru belajar jadi leader, mungkin masalahnya bukan kita. Mungkin lingkungan kita terlalu bising untuk bisa dengar suara sendiri. Dan kalau yang paling keras di ruangan justru bikin kita makin ragu, mungkin kita bukan kurang tegas tapi kita cuma belum nemu cara tegas yang nggak harus keras.
Leadership bukan soal meniru yang paling dominan. Tapi soal memilih untuk tetap jernih saat yang lain pakai tekanan.
Dan kalau kita bisa tetap waras, tetap jelas, dan tetap manusiawi di tengah lingkungan yang keras, itu bukan kelemahan. Itu kekuatan.
Thank you for reading this far, I hope you learned from my sharing and continue supporting yourself to be a Great Leader. This is Learning Leadership, Simplified!
TLDR
Banyak first-time manager bukan kelelahan karena tugas, tapi karena atasannya sendiri. Bos yang keras; baik lewat kata, nada, atau sikap pasif-agresif; sering kali menggerogoti rasa percaya diri pelan-pelan. Bukan karena mereka benar, tapi karena power gap membuat kritik terasa sebagai kebenaran mutlak.
Lebih parahnya lagi, gaya toxic ini bisa kita tiru tanpa sadar. Maka tugas kita bukan membalas, tapi sadar, memilah, dan mulai memimpin dengan cara yang lebih sehat.
5 Key Points: