EXPERTISE
Expertise atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Keahlian. Dalam sebuah perjalanan ketika mengantar saudara ke Bandara kata itu muncul ketika berdiskusi. Kita berbicara tentang keahlian yang kita miliki. Keahlian yang muncul bukan karena klaim sepihak tetapi diakui oleh multipihak setelah melihat apa yang sudah kita lakukan. Keahlian yang kita miliki ini muncul tidak dengan tiba-tiba, melainkan melalui proses panjang yang kita lalui selama ini di dalam bekerja. Misalkan seperti yang saya alami ketika bekerja untuk lembaga swadaya masyarakat atau dalam istilah asing adalah Non-Governmental Organization (NGO).
Keahlian yang saya rintis pada awal jenjang kerja adalah sebagai staf pengelolaan program pemberdayaan di Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) 3 Bengkulu tahun 2009 Kementerian Pekerjaan Umum (sekarang PUPR) yang merupakan bantuan Bank Dunia. Tahun 2010 kemudian saya lanjut bergabung dengan sebuah NGO untuk menjadi fasilitator / pendamping komunitas untuk Program Pengurangan Resiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) yang merupakan bantuan dari UNDP Indonesia. Sempat bertugas secara paralel selama setahun untuk Project Excellent in Emergency Response (PEER) tahun 2016 yang merupakan bantuan dari Catholic Relief Service (CRS). Sampai saat ini saya masih terlibat untuk sebuah NGO yang bergabung dengan 45 negara dalam sebuah federasi internasional.
Latar belakang pendidikan saya adalah Sarjana Sosial dengan konsentrasi keilmuan Kesejahteraan Sosial (selesai tahun 2008). Pada saat saya menimba ilmu hanya ada 5 atau 6 kampus negeri yang memiliki jurusan yang sama yaitu Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan, Universitas Bengkulu (Unib) di Bengkulu, Universitas Indonesia (UI) di Depok, Universitas Jember (Unjem) di kabupaten Jember, Universitas Padjajaran (Unpad) di Bandung dan Universitas Cendrawasih (Uncen) di Jayapura. ditambah 1 sekolah tinggi atau Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (Sekarang Poltekessos) di Bandung. Ini belum termasuk perguruan tinggi swasta dan sekolah tinggi swasta serta sekolah yang memang mengajarkan tentang pekerjaan sosial / kesejahteraan sosial.
Pasca kuliah saya sering terlibat dalam aktivitas atau kegiatan community development and empowerment (pengembangan dan pemberdayaan masyarakat) namun spesifik untuk kebutuhan perusahaan. Perusahaan yang sering membuat program dan bekerja sama untuk program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat terutama di ring 1 kegiatan / operasional mereka. Saya dan tim sering melakukan komunikasi dan kolaborasi dengan teman-teman perusahaan yang mempunyai mandatory program Corporate Social Responsibility (CSR) atau pada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dikenal dengan istilah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Seringkali saya melakukan kolaborasi program TJSL ini dengan sektor bisnis minyak bumi, gas bumi, mineral dan batubara, perbankan, panas bumi, dan beberapa yang bergerak di sektor ritel dan manufaktur.
Kebiasaan saya berkumpul dengan teman-teman perusahaan tersebut memberikan sebuah kepercayaan untuk saya dan tim menjalankan program TJSL mereka. Sering kali diskusi kita sangat teknis sekali dengan menggunakan alat penelitian sosial, menjadikan saya dan tim sering diajak dan dilibatkan oleh teman-teman perusahaan untuk membantu terlibat dalam proses bisnis program TJSL. Kepercayaan ini bukanlah muncul tiba-tiba, tetapi melalui serangkaian kegiatan yang terencana (RKAT/RKAB/Renstra) di lapangan dan selalu diawali dengan presentasi dan diskusi terfokus dan mendalam membahas perencanaan program TJSL dan dampaknya yang terukur di lapangan serta memberikan return bagi perusahaan.
Istilahnya kita "istiqomah" dengan kegiatan yang kita lakukan dan terus melakukan peningkatan dan pengalaman dalam program TJSL kekinian. Proses inilah yang kemudian menjadikan saya dan tim dianggap mempunyai keahlian di bidang tersebut. Walaupun setiap perusahaan mempunyai alat dan cara yang berbeda, namun tujuannya tetap sama ketika menjalankan program TJSL tersebut. Circle atau lingkaran kita juga tidak jauh-jauh dari mereka-mereka yang sudah lebih dulu menjadi ahli, praktisi, akademisi, dan penggiat program TJSL. Lama-kelamaan kita akan memiliki keahlian dan dianggap ahli untuk menjadi perencana maupun pelaksana program TJSL oleh mereka yang memang membutuhkan keahlian dan sumbasih dari kita. Penting juga untuk dipahami bekerja dengan masyarakat juga memiliki level resiko yang berbeda di setiap wilayah (ini akan saya bahas pada tulisan selanjutnya ya). Tidak hanya pintar dan jago menjalankan program TJSL, namun memiliki keberanian yang terukur ketika bekerja di lapangan (The Brave One Team).
Disclaimer: Secara pribadi, saya sendiri sampai saat ini belum berani membuat penyataan (mengklaim) ahli di bidang tersebut. Mengapa? sampai saat ini saya masih terus belajar dengan para guru dan senior di bidang TJSL dalam dan luar negeri. Tidak hanya belajar dalam bentuk sharing dan diskusi. Saya juga ikut melakukan kegiatan langsung di lapangan bersama para guru dan senior tersebut. Biarlah nanti ada waktunya masing-masing yang akan membuktikan bahwa kita memang layak disebut sebagai ahli dari mereka yang sudah ahli sebelumnya. Jika sudah begitu maka terwujudlah yang namanya kolaborasi antara para ahli dengan spesifikasi yang sangat dalam dari setiap ahli dan dirangkai menjadi produk dan inovasi yang terus bertumbuh dan berkembang di masyarakat.