SlideShare a Scribd company logo
1
Setelah membaca dan memhami materi kegiatan belajar 1 ini diharapkan
saudara dapat:
1. Menganalisis hakikat manusia dalam Islam
2. Menganalisis daya-daya ruhani dalam Islam
Saudara-saudara sekalian, pada bahan kegiatan belajarakan dibahas empat
materi pokok tentang aspek-aspekdīn al-Islām. Pada bagian pertama akan
dibahas tentang hakikat manusia. Pada bagian kedua akan dibahas tentang
daya-daya ruhani. Kepada saudara, diharapkan untuk dapat membaca dan
memahami materi kegiatan belajar dengan sebaik-baiknya baik agar tujuan
pembelajaranyang diharapkan dapat dicapai secara optimal.
HAKIKAT MANUSIA
A. Ruh sebagai Hakikat Manusia
Manusia terdiri atas dua bagian yaitu badan dan jiwa. Keduanya merupakan hal yang
sama sekali berbeda. Badan adalah materi gelap yang kasar, tersusun, bersifat tanah, tidak
berfungsi keadaannya kecuali dengan ruh. Manusia disatu sisi, jasmani, berasal dari alam khalq
dan dari sisi lain, Ruhanainya dari alam amr. Sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Farabi
bahwa Segala hal yang memungkinkan untuk diukur, dikuantifikasikan dan ditakar, maka ia
adalah dari alam khalq. Sedangkan jiwa tidak bisa diukur atau ditakar, karena itu ia tidak bisa
dibagi.
KEGIATAN BELAJAR 2:
SUBCAPAIAN PEMBELAJARAN
URAIAN MATERI
2
Adapun hakikat manusia adalah ruhani. Dalam rangkaian eksistensialnya meskipun
kelihatannya jasmanilah yang lebih awal, sesungguhnya ia adalah akhir. Sedangkan ruhani itu
memang kelihatannya terakhir (masa nafkh al-rûh pen.), tetapi ia adalah yang awal.
al-Ghazali (1058-1111) dalam al-Risâlah al-Ladunniyah, menjelaskan bahwa jasmani
manusia adalah aksiden (‘arad) sedang substansinya (jauhar) adalah ruhani. Badan adalah
perangkat ruhani. Ruhanilah yang sesungguhnya menerima beban syariah (taklîf), yang
menerima titah syar’i (khitâb), ganjaran dan siksa, menerima kesenangan dan kesedihan. Jiwa
inilah yang disebut ruh sebagai hakikat manusia.
Di dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, al-Ghazali menjelaskan dua makna untuk al-rûh
yaitu pertama, sejenis sesuatu yang halus yang bersumber pada lubang hati jasmani, lalu
menyebar melalui pembuluh darah yang merasuk ke seluruh anggota tubuh. Peredaran ruh pada
tubuh dan limpahan cahaya kehidupan, perasaan, penglihatan, pendengaran, dan
penciumannya, pada seluruh anggota tubuh seperti limpahan cahaya lampu yang diedarkan di
setiap sudut rumah. Sesungguhnya lampu itu tidak sampai pada suatu bagian rumah, melainkan
ia menerangi dengan cahaya itu. Kehidupan ini seperti cahaya yang nampak pada dinding
ruangan, sedangkan ruh adalah seperti lampunya. Pergerakan ruh di dalam tubuh itu seperti
gerakan lampu di sekeliling rumah yang digerakkan oleh penggerak lampu itu. Al-Rûh dalam
makna ini tidak dipakai dalam tasawuf. Makna kedua, adalah (sesuatu) yang halus, yang
mengetahui, yang menyerap dari manusia. Ia yang telah kami uraikan dalam salah satu dari
makna hati dan itulah yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala dengan firmanNya: “Qul al-rûh min
amri rabbi.” (Qs. Al-Isrâ`: 85). Ruh adalah persoalan yang mengagumkan, bersifat ketuhanan
(rabbâni) di mana mayoritas akal tidak mampu memahami hakikatnya.
Ketika mengomentari Qs. Al-Isrâ`/ 17: 85,‫ي‬ِ‫ب‬َ‫ر‬ ِ‫ر‬ْ‫م‬َ‫أ‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ُ‫ح‬‫و‬ُّ‫الر‬ ِ‫ل‬ُ‫ق‬ ِ‫وح‬ُّ‫الر‬ ِ‫ن‬َ‫ع‬ َ‫َك‬‫ن‬‫و‬ُ‫ل‬َ‫ئ‬ْ‫س‬َ‫ي‬ َ‫و‬ al-
Ghazali mengatakan bahwa amr al-bâriy ta’âla bukanlah jasmani dan bukan pula aksiden
(‘arad), akan tetapi ia adalah daya ketuhanan (quwwah ilâhiyah), substansi (jauhar) yang kekal
yang fenomenanya seperti Akal Pertama, al-Lauh al-Mahfûdz, dan al-Qalam. Sesungguhnya
ruh merupakan bagian dari keseluruhan qudrah ilâhiyah.
Mengomentari ayat di atas, Imam Fakhrur Razi menjelaskan bahwa ruh adalah
substansi tunggal yang unik (basît) yang tidak dapat tercipta kecuali melalui firman Allah kun
fa yakûn. Kehadiran ruh ini karena amr (perintah) Allah guna memberi mafaat bagi badan. Ruh
ini pada awalnya kosong dari ilmu pengetahuan. Dalam proses kehidupan ia berubah dari satu
kondisi ke kondisi yang lebih maju, dari kekurangan menuju kesempurnaan. Abu Abdillah bin
Nabaji mengatakan bahwa ruh adalah sesuatu yang terlalu halus untuk dilihat dan terlalu besar
3
untuk disentuh. Ia tidak dapat diungkapkan dengan cara lain kecuali bahwa dia itu maujud.
Namun demikian menurut al-Hujwiri, semua sufi dan kebanyakan muslim sepakat bahwa ruh
adalah substansi bukan aksiden. Ruh itu halus dan berjisim, karena itu ia dapat dilihat. Hanya
saja untuk melihatnya harus menggunakan mata hati. Ruh bisa menempati tembolok burung
atau menjadi pasukan yang bergerak ke sana ke mari, sebagaimana dijelaskan oleh hadis
Rasulullah saw.
Penjelasan al-Ghazali, yang membagi ruh dalam dua makna yakni makna hakiki dan
lahiriyah, kelihatannya mewakili keragaman penjelasan yang diberikan oleh para ulama ini.
Sesungguhnya menurut al-Ghazali, ruh yang merupakan hakikat manusia adalah substansi
tunggal yang tepisah dari materi. Ia adalah sinar murni (adwa mujarradah) yang rasional dan
bukan teresterial. Sebutan ruh atau al-qalb dalam bahasa kita merupakan keadaan substansi
itu. Masih menurut al-Ghazali, ruh itu tidak akan rusak, tidak akan hancur dan tidak mati
kecuali sekedar berpisah dengan badan dan yang menunggu kembali kepada Allah pada hari
Kiamat sebagaimana dijelaskan oleh syariat. Jadi al-rûh al-nâtiq itu tidak berjisim, bukan
aksiden (‘arad), tetapi ia adalah substansi (jauhar) yang tetap (tsâbit), kekal (dâ`im), tidak
rusak, tidak campur, tidak hancur, tidak mati. Karena itu Allah menyandarkan ruh ini sesekali
pada amr-Nya (Qs. al-Isra`: 85) dan sesekali pada keagungannya (Qs. al-Hajr/15: 29 al-
Tahrîm/66: 12).
Bunyi Qs. al-Hajr/15: 29 adalah: ُ‫ه‬َ‫ل‬ ‫وا‬ُ‫ع‬َ‫ق‬َ‫ف‬ ‫ي‬ ِ‫وح‬ُّ‫ر‬ ‫ن‬ِ‫م‬ ِ‫ه‬‫ي‬ِ‫ف‬ ُ‫ت‬ْ‫خ‬َ‫ف‬َ‫ن‬ َ‫و‬ ُ‫ه‬ُ‫ت‬ْ‫ي‬ َّ‫و‬َ‫س‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫إ‬َ‫ف‬َ‫ِين‬‫د‬ ِ‫اج‬َ‫س‬ (“Maka
apabila Aku telah menyempurnakan kejadianya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh
(ciptaan)-Ku, maka tunduk kamu kepadanya dengan bersujud.”)
Bunyi Qs. al-Tahrîm/66: 12 adalah:
‫ا‬َ‫ه‬َ‫ج‬ ْ‫ر‬َ‫ف‬ ْ‫َت‬‫ن‬َ‫ص‬ْ‫ح‬َ‫أ‬ ‫ى‬ِ‫ت‬َّ‫ل‬‫ا‬ َ‫ان‬ َ‫ر‬ْ‫م‬ِ‫ع‬ َ‫َت‬‫ن‬ْ‫ب‬‫ا‬ َ‫م‬َ‫ي‬ ْ‫ر‬َ‫م‬ َ‫و‬َ‫و‬ ِ‫ه‬ِ‫ب‬ُ‫ت‬ُ‫ك‬ َ‫و‬ ‫ا‬َ‫ه‬ِ‫ب‬َ‫ر‬ ِ‫ت‬‫ا‬َ‫م‬ِ‫ل‬َ‫ك‬ِ‫ب‬ ْ‫ت‬َ‫ق‬َّ‫د‬َ‫ص‬ َ‫و‬ ‫َا‬‫ن‬ ِ‫وح‬ُّ‫ر‬ ‫ن‬ِ‫م‬ ِ‫ه‬‫ي‬ِ‫ف‬ ‫َا‬‫ن‬ْ‫خ‬َ‫ف‬َ‫ن‬َ‫ف‬َ‫ِين‬‫ت‬ِ‫ن‬‫ا‬َ‫ق‬ْ‫ال‬ َ‫ن‬ِ‫م‬ ْ‫َت‬‫ن‬‫َا‬‫ك‬
(“dan Maryam puteri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke
dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat Rabbnya
dan Kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.)
Bagi ruh yang merupakan substansi tunggal, jasmani adalah aksiden (arad) yang tidak
bisa tidak membutuhkan eksistensinya. Aksiden tidak akan eksis tanpa substansi. Akan tetapi
substansi tersebut (ruh) tidak inkarnasi pada suatu keadaan dan tidak menempati suatu tempat.
Jadi badan bukanlah tempat ruh atau al-qalb, tetapi ia adalah sarana bagi ruh, peralatan al-qalb
serta kendaraan bagi al-nafs.
Dilihat dari substansinya, ruh adalah dari jenis malaikat. Akan tetapi untuk mengerti
hakikat ruh yang sesungguhnya adalah sangat sulit, karena agama tidak menjelaskan
4
bagaimana cara mengetahuinya. Tidak adanya penjelasan yang cukup dari agama dalam hal
ini, bukan karena tidak adanya kebutuhan agama terhadap persoalan ini, tetapi karena agama
adalah persoalan usaha (mujâhadah) sedangkan pengenalan terhadap hakikat ruh adalah
persoalan hidayah. Sebagaimana firman Allah dalam Qs al-Ankabût/ 29: 69: walladzîna jâhadû
fîna lanahdiyannahum subulanâ(“Orang-orang yang benar-benar berusaha dalam agama
Kami, niscaya Kami akan beri petunjuk kepada mereka jalan Kami”). Padahal ma’rifat
terhadap hakikat dan sifatnya adalah kunci ma’rifat Allah SWT.
Dalam hal ini al-Ghazali mewajibkan kita untuk bermujâhadah sehingga dapat
mengetahui hakikat ruh tersebut. Ia mewajibkan mujâhadah sebagai metode untuk menelusuri
hakikat ruh, bukan tafakkur karena obyek kajian yang akan dijangkau adalah hal ghaib yang
hanya bisa raih secara irfani/ huduri. Di dunia ini, ruh tidak menyibukkan dirinya kecuali
dengan mencari ilmu, karena ilmu itulah yang akan menjadi hiasannya di akhirat nanti. Ruh
yang telah mutma`innah tidak memiliki keinginan lain kecuali ilmu dan tidak akan rida kecuali
dengannya, bahkan ia akan senantiasa belajar sepanjang hayatnya.
B. Ragam Jiwa Manusia
Ruh adalah bersifat substantif, tunggal (al-jauhary al-mufrad) yang menerangi, yang
menyerap, pelaku, penggerak, penyempurna segenap perangkat dan jasmani. Ruh yang oleh
para filosof muslim disebut jiwa rasional, inilah yang merupakan jiwa hikiki, namun
demikian ternyata dalam diri manusia masih terdapat jiwa-jiwa yang lain yang berkaitan dan
menjadi alat bagi jiwa hakiki ini. Ragam jiwa itu selanjutnya oleh para filosof Muslim seperti
al-Ghazali (450-505/ 1058-1111), mengikuti al-Farabi (w. 339/ 870-950) dan Ibn Sina (370-
429/ 980-1037), dibedakan menjadi tiga yaitu jiwa vegetatif (al-nafs al-tabî'iy), jiwa sensitif
(al-nafs al-hayawâniyah), dan jiwa rasional (al-nafs al-nâtiqah).
Pembagian jiwa menjadi tiga bagian ini, yang mengadopsi penjelasan Aristoteles.
Aristoteles adalah filosof Yunani yang membagi jiwa dalam tiga kategori yaitu Jiwa
Tumbuhan (Ame Végétative) yang merupakan prinsip nutrisi, tumbuh dan reproduksi; Jiwa
Hewan (Ame Sensitive) yang merupakan landasan dari indra dan gerak; serta Jiwa Rasional
(Ame Pensante) yang merupakan landasan bagi pemikiran. Aristoteles, sebagaimana
dijelaskan Taftazani, mengkhususkan jiwa rasional itu pada manusia tidak pada hewan.
Sebagaimana Hewan memiliki kelebihan jiwa sensitif, sedangkan tumbuhan tidak.
1. Jiwa vegetatif (al-nafs al-tabî’iy)
5
Jiwa vegetatif merupakan penyempurna pertama badan yang merupakan potensi
dan memiliki perangkat untuk makanan/ nutrisi, tumbuhan, dan reproduksi. Daya-
daya pada jiwa vegetatif, menurut al-Ghazali, semuanya dipersiapkan sebagai
pelayan bagi jasmani, sedangkan jasmani merupakan pelayan bagi daya sensitif/
hewani.
2. Jiwa sensitif (al-nafs al-hayawâniyah)
Jiwa Hayawaniyah penyempurna pertama bagi jasmani yang merupakan potensi
dan memiliki perangkat untuk yang menyerap segala obyek parsial (juz`iyat) dan
menggerakkan badan dengan kehendak (irâdah). Nafsu yang terdiri atas syahwat dan
ghadab berada pada daya penggerak (al-quwwah al-muharrikah) yang ada pada jiwa
ini. Jiwa hayawaniyah berbentuk badan halus seperti cahaya lampu yang menyala
dalam kaca al-qalb (yakni berbentuk jantung yang tergantung di dada). Hidup adalah
sinar lampu tersebut, dan darah adalah tempat tinggalnya, sensitifitas dan gerak
adalah cahayanya. Nafsu syahwat adalah panasnya. Nafsu ghadab (daya marah)
adalah asapnya. Jiwa ini ada pada semua binatang dan manusia.
Jiwa hayawaniyah tidak membutuhkan ilmu, tidak mengetahui cara penciptaan
dan tidak juga mengetahui hak Sang Pencipta. Karenanya jiwa ini bukanlah
pemangku firman Allah dan bukan penerima beban syariat. Sesungguhnya ia adalah
pelayan bagi jiwa rasional yang akan mati dengan matinya badan.
3. Jiwa rasional (al-nafs al-nâtiqah)
Jiwa rasional adalah jiwa hakiki manusia. Ia adalah substansi (jauhar) tunggal,
sempurna, dan hidup dengan sendirinya. Kebaikan dalam beragama dan
keburukannya akan lahir dari jiwa ini. Adapun jiwa Vegetatif dan sensitif serta
seluruh daya fisik merupakan perangkatnya. Substansi ini menerima segala ilustrasi
fenomena dan esensi realitas, tanpa disibukkan dengan rincian dan karakteristiknya.
Jiwa rasional ini akan abadi dan tidak hancur, bahkan lebih sempurna dengan matinya
badan.
Jiwa rasional ini tidak memiliki menghendaki sesuatu kecuali berfikir (al-
tafakkur), menghafal (al-tahaffuz), membedakan (al-tamyîz), dan meriwayatkan/
mendeskripsikan (al-riwâyat), menerima seluruh pengetahuan tidak terlepas
penerimaan terhadap ilustrasi yang terlepas dari materi. Substansi (jiwa rasional) ini
adalah pemimpin jiwa-jiwa (nabâtiyah dan hayawâniyah) dan penguasa daya-daya
6
(al-quwwâ). Seluruh jiwa dan daya-daya itu melayaninya dan menunaikan
perintahnya. Dia adalah substansi yang hidup, pelaku, dan penyerap
Menurut al-Ghazali jiwa rasional inilah yang oleh para filosof disebut al-jauhar
al-nafs al-nâtiqah. Al-Qur`an menyebutnya dengan al-nafs al-mutma`innah atau
disebut juga dengan al-rûh al-amriy. Para sufi menyebutnya dengan al-qalb. Sedang
al-Ghazali sendiri menggunakan berbagai istilah untuk menjelaskan jiwa ini seperti:
al-qalb, al-nafs al-nâtiqah, al-rûh al-nâtiq, al-rûh al-mutlaq, dan al-rûh. Ia
menegaskan bahwa perbedaan ini hanya dalam penyebutan sedangkan maknanya satu
dan tidak ada perbedaan dalam hal makna ini,
7
1. DAYA-DAYA RUHANI
A. Ragam Daya Ruhani
Di samping jiwa hakikat manusia ini ternyata masih ada dua jiwa lagi yang ada pada
manusia yaitu jiwa tumbuhan dan binatang. Al-Ghazali dan Ibn Sina (980-1037) menyebut
tiga jiwa itu dengan al-nafs al-nabâtiyah, al-nafs al-hayawâniyah dan al-nafs al-nâtiqah/ al-
nafs al-insâniyah. Manusia sesungguhnya adalah makhluk integrasi antara fenonema materi
(al-nafs al-nabâtiyah) dan immateri (al-nafs al-nâtiqah), dengan al-nafs al-hayawâniyah
adalah substansi pengantara antara keduanya. Jika tumbuh kembangnya aspek fisiologis
ditentukan oleh al-nafs al-nabâtiyah, maka perkembangan aspek ruhani, sangat ditentukan oleh
kesucian dan ketajaman al-nafs al-nâtiqah. sedangkan kualitas al-nafs al-hayawâniyah –
sebagai pengantara- justru menjadi penentu kualitas aspek fisiologis dan ruhani secara
bersamaan. Baik al-Ghazali maupun Ibn Ataillah memastikan bahwa pada al-nafs al-
hayawâniyah inilah nafsu (syahwat dan ghadab) berada. Nafsu adalah penentu baik-buruknya
ruhani yang selalu tergambar dalam ekspresi jasmani. Nafsu adalah daya ruhani yang memiliki
natur negatif.
Dalam konteks daya-daya ruhani ini, para sufi secara lebih lengkap menegaskan bahwa
struktur ruhani manusia itu terdiri atas lima bagian yaitu: al-nafs, al-‘aql, al-qalb, al-rûh dan
al-sirr. Al-Nafs adalah wadah dari syahwat dan ghdab, sedangkan al-’aql (rasio) merupakan
standard kebenaran. Imam al-Qusyairiy (w. 465/ 1072) dalam al-Risâlah al-Qusyairiyah
menyatakan bahwa al-qalb adalah tempat ma’rifat, al-rûh adalah tempat cinta kasih (al-
mahabbah) dan al-sirr adalah tempat musyahadah.
Dari penjelasan para sufi tersebut, diketahui bahwa potensi dan daya ruhani sangat
variatif. Menjadi sangat naïf jika selama ini yang diberdayakan, diadabkan dalam kehidupan
nyata hanya sampai pada pemberdayaan aspek rasional bahkan fisik saja. Menjadi manusia
berkualitas adalah bagaimana mengoptimalisasikan lima daya ruhani tersebut secara gradual
dan simultan. Hanya orang-orang sufi hakikilah yang sanggup mengortimalkan seluruh daya
ini.
Pada masyarakat kebanyakan, daya ruhani yang paling menentukan dalam dinamika
ruhani hanya tiga yaitu al-nafs, al-’aql,dan al-qalb. Secara metaforis, Al-Ghazali dalam
Kîmiyâ` al-Sa’âdah, menggambarkan peran ketiga daya ruhani itu secara metaforis.
Menurutnya, jiwa itu laksana sebuah negeri. Ladangnya adalah dua tangan, dua kaki, dan
seluruh anggota tubuh lainnya. Tuan tanahnya adalah nafsu seksual (syahwat) dan nafsu agresi
8
(ghadab) adalah penjaganya. Al-Qalb adalah rajanya dan al-’aql adalah perdana menterinya.
Wajib bagi sang raja tersebut bermusyawarah dengan perdana menteri, guna menjadikan tuan
tanah itu tunduk di bawah kendali perintah perdana menteri, demi kelanggengan kerajaan dan
kemakmuran negeri. Demikianlah –menurutnya- kondisi al-qalb yang selalu bermusyawarah
dengan al-’aql, guna menjadikan nafsu syahwat dan ghadab di bawah kendali perintahnya.
Situasi jiwa benar-benar tentram tersebut akhirnya mampu mencapai sebab kebahagiaan dan
ma'rifat terhadap realitas transendental (al-hadrah al-ilâhiyah). Akan tetapi jika akal berada di
bawah al-ghadab dan syahwat, maka hancurlah jiwa itu dan jadilah al-qalb sebagai yang celaka
di akhirat.”
Dari ilustrasi di atas terlihat bahwa al-qalb adalah yang paling utama, namun demikian
posisi al-’aql bukanlah hal yang tidak penting. Sebagai wazîr (perdana menteri) ia punya
otoritas yang sangat urgen. Dilihat dari penekanan al-Ghazali pada kesepakatan antara al-qalb
dan al-’aql dalam membentuk keputusan sikap batin, membuktikan sangat pentingnya
hubungan antara keduanya. Al-qalb (dalam makna ruh/ hakikat manusia) itu bukanlah berasal
dari alam kasat mata (‘âlam al-khalq) tetapi ia berasal dari alam ghaib (‘âlam al-amr). Oleh
karena itu ia menjadi terasing dalam alam ini. Eksistensinya dalam dinamika ruhani adalah
sebagai "raja" di mana seluruh anggota tubuh bertindak sebagai pelayannya. Natur dasarnya
adalah mengetahui Allah (ma'rîfah Allah) dan menyaksikan keindahan wajahNya
(musyâhadah).
Dari metafor di atas dapat diketahui bahwa kendali dinamika ruhanilah yang akan
menentukan nilai sebuah perilaku. Jika dinamika ruhani tersebut dikendalikan oleh nafsu maka
sudah pasti yang akan muncul adalah perilaku negatif (al-akhlâk al-madzmûmah). Sebaliknya
jika kendali dalam dinamika ruhani itu berada pada al-qalb yang merupakan wadah hidayah,
maka perilaku yang muncul adalah perilaku positif (al-akhlâk al-mahmûdah). Pertanyaannya
adalah bagaimana sebenarnya cara mengendalikan sikap batin agar selalu dalam keputusan
positif? Bagaimana cara mengendalikan nafsu yang efektif? Tentu ini bukan persolan mudah.
Jika al-Ghazali, menyebut fenomena ruhani terdalam hanya sampai pada al-rûh, Imam
al-Qusyairiy (w. 465/ 1072) di samping menyebutkan al-qalb sebagai tempat ma’rifat, al-rûh
sebagai tempat cinta kasih (al-mahabbah), ia juga menyebut daya al-sirr adalah tempat
musyahadah.
Analisis tentang daya-daya ruhani oleh para syekh tarikat tampaknya lebih utuh lagi.
Syekh Ahmad Khatib Sambas, misalnya, menjelaskan bahwa manusia itu terdiri atas sepuluh
unsur halus (latâ`if) di mana lima latâ`if termasuk alam khalqi dan lima berikutnya termasuk
alam amr. Yang termasuk alam amr adalah al-qalb, al-rûh, al-sirr, al-khafiy dan al-akhfâ.
9
Sedangkan lima latâ`if yang termasuk alam khalqi adalah latîfat al-nafs dan empat unsur. Kyai
Mushlih Mranggen menjelaskan keempat unsur itu adalah air, udara, api dan tanah.
B. Daya Ruhani Utama
Lebih detail mengenai daya-daya ruhani dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Al-Nafs
Dalam Ihyâ`, al-Ghazali menjelaskan makna al-nafs dengan dua makna sebagai
berikut: pertama, al-nafs adalah makna menyeluruh bagi daya marah/ agresifitas (al-ghadab)
dan daya keinginan (syahwat) dalam diri manusia. Makna ini yang biasanya digunakan oleh
ahli tasawuf, karena sesungguhnya mereka menghendaki dengan kata al-nafs itu adalah pokok
yang menghimpun bagi sifat buruk dari manusia. Maka mereka mengatakan bahwa harus ber-
mujâhadah (perang) melawan nafsu dan memecahkannya. Adapun makna kedua, al-nafs
adalah sesuatu yang halus, sebagaimana telah kami jelaskan. Ia adalah manusia secara hakikat.
Ia adalah jiwa manusia dan dzatnya.
Dalam kitab Ma’ârij al-Quds al-Ghazali juga menjelaskan dua makna tersebut. Yang
dimaksud dengan al-nasf dalam makna pertama adalah pengertian yang meliputi keseluruhan
sifat buruk. ia adalah daya hewani yang berlawanan dengan daya akal. Inilah pemahaman bagi
umumnya para sufi, hingga dikatakan bahwa jihad yang paling utama hendaklah engkau
memerangi nafsumu. Al-Razi menegaskan bahwa mengekang dan mengendalikan nafsu
merupakan kewajiban bagi semua orang, bagi orang yang berakal dan bagi semua agama,
karena ia merupakan sumber kehinaan jiwa.
2. Al-Syahwat
Nafsu syahwat adalah segala keinginan yang berkaitan dengan seksualitas, makanan,
materi, kedudukan/ jabatan dan prestise. Natur nafsu syahwat selalu rakus dan berhasrat bila
melihat lawan jenis, makanan, materi, kekuasaan. Nafsu syahwat menjanjikan kenikmatan
badani yang telah banyak menjerumuskan orang untuk hidup sekedar memenuhi aspek ini.
Mereka yang terpedaya dengan syahwatnya akan makan dengan berbagai variasi tanpa
mempertimbangkan batasan yang diperkenankan agama. Ia tidak mampu mengontrol syahwat,
berzina, bangga dengan materi dan kekuasaan, sangat mencintai dunia yang berujung pada
melupakan Allah. Ibn Miskawaih menyebut daya syahwat ini dengan al-nafs al-bahîmiyah
(jiwa kebinatangan) yang menjadi dasar bagi syahwat, keinginan terhadap makanan, minum,
10
kawin serta kenikmatan indrawi lainnya. Berbeda dengan al-Ghazali menurutnya daya ini
berada di hati.
Daya syahwat merupakan daya pertama yang ada sejak bayi, baru kemudian disusul
daya ghadab saat usia tujuh tahun. Setelah daya ghadab mulai matang baru disusul oleh daya
tamyîz. Karena nafsu syahwat dan ghadab mendahului adanya dibanding kematangan daya
ruhani lainnya, maka ia lebih membekas di hati dari yang lain. Sebab kedua adalah akhlak yang
ada sedari awal kehidupan –di mana daya-daya ruhani belum stabil- terus dikuatkan oleh
prilaku yang menuntut kesenangan nafsu itu. Dua sebab itu yang membuat proses perbaikan
ruhani ini menjadi tidak mudah. Tujuan perbaikan dan penyucian ruhani bukan meniadakan
nafsu secara total, karena hal itu melawan fitrah. Perbaikan ruhani ini lebih ditujukan untuk
mengarahkan gejolak nafsu itu pada koridor syara` dan nalar yang sehat.
3. Al-Ghadab
Nafsu ghadab (daya marah) adalah daya agresivitas yang berfungsi sebagai penjamin
keamanan, sehingga setiap individu dapat tetap survive. Daya agresifitas atau emosi ini sangat
penting untuk dapat maraih setiap yang dinginkan syahwat baik berupa makanan, kekayaan,
jabatan dan lawan jenis yang menentukan kelangsungan hidup setiap individu. Ibn Miskawaih
menyebutnya dengan al-nafs al-syabu’iyah (jiwa kebuasan) yang merupakan sumber
kemarahan, penentangan, keberanian, ingin berkuasa, ingin pangkat dan jabatan dan berbagai
kesempurnaan lainnya. Berbeda dengan al-Ghazali, ia menganggap pusat daya ini berada di
hati.
Pada hakekatnya kedua daya ini (syahwat dan ghadab) merupakan prasyarat mutlak
untuk kehidupan jasmani. Tanpa adanya keinginan terhadap materi, makan minum, seksualitas
dan kekuasaan tentu tidak mungkin manusia dapat bertahan hidup. Tanpa adanya daya
agresifitas (ghadab) tentu segala keinginan (syahwat) tidak akan pernah didapatkan. Keinginan
tanpa upaya mendapatkan adalah sia-sia. Tanpa keduanya manusia tidak akan bisa eksis.
Begitu ia dilahirkan, segera ia akan mati. Bahkan untuk dilahirkan tentu harus ada syahwat
yang mengawali, tanpa syahwat tidak ada nikah, tanpa nikah tidak ada kehamilan, tanpa
kehamilan tidak ada kelahiran. Maka spesies manusia segera musnah. Inilah fungsi dasar nafsu.
Akan tetapi kodrat nafsu yang senantiasa cenderung ke arah materi, seksualitas dan kekuasaan
mengantarkan manusia terpenjara di alam rendah materi. Ibn Ataillah mengatakan jika
kehidupan ini sekedar memenuhi hal-hal tersebut semata, sungguh hal sama terjadi pada orang
kafir bahkan ini adalah keadaan binatang melata.
11
4. Al-Aql
Dua makna dasar dijelaskan al-Ghazali ketika menjelaskan al- ’aql dalam Ihyâ`, yaitu
pertama, al-‘aql adalah ilmu tentang hakikat persoalan-persoalan. Maka akal dalam konteks
ini adalah gambaran dari sifat ilmu yang tempatnya di dalam hati. Adapun makna kedua, al-
aql adalah yang menyerap ilmu pengetahuan. Dia ini adalah al-qalb yakni sesuatu yang halus.
Istilah al-’aql ini sangat samar karena ia bisa bermakna pelaku sekaligus sifatnya, yang
berilmu dan ilmunya. Sesunngguhnya substansi yang mengetahui itu berbeda dengan sifat
mengetahui. Akal kadang disebut sebagai sifat, tetapi kadang disebut sebagai yang disifati.
Secara hakiki al-’aql adalah substansi yang mengetahui. Sebagaimana dijelaskan oleh
Rasululllah SAW bahwa ia adalah yang pertama kali dicipta oleh Allah: ‫ا‬‫العقل‬ ‫هللا‬ ‫ماخلق‬ ‫ول‬ ”Hal
pertama yang Allah ciptakan (dalam wujud ini) adalah al-’aql.” Jika al-’aql di sini adalah
makhluk maka tidak mungkin dia diartikan sebagai ilmu pengetahuan. HR al-Tabrani
Dalam kenyataan sehari-hari diketahui bahwa kemampuan akal untuk memmperoleh
pengetahuan tidak berdiri sendiri dan tidak serta merta. Akal mengetahui melalui berbagai
proses kematangan. Dinamika penyerapan pengetahuan tersebut diawali dari pengetahuan
empiris melalui panca indra yang mengalami kematangan fisiologis secara bertahap. Pada usia
sekitar tujuh tahun baru ada sarana pengetahuan rasional yakni dengan munculnya daya
pembeda (al-tamyîz) yang oleh al-Ghazali disebut sebagai tahapan lain dari wujud. Daya ini
mampu melampaui indra dan membentuk dalil-dalil aksiomatis (pengetahuan darurîy).
Beberapa tahun kemudian muncullah daya akal yang lebih sempurna. Dengan daya akal itu
seseorang dapat mengetahui hal-hal yang wajib, jaiz dan mustahil serta hal-hal yang terdapat
pada tahapan sebelumnya. Pada fase selanjutnya terbukalah sepasang mata batin yang mampu
melihat alam ghaib dan menyaksikan apa-apa yang terjadi pada masa lalu dan yang akan datang
serta berbagai permasalahan metafisika lainnya.
Penjelasan lebih lanjut tentang evolusi akal teoritis tersebut adalah sebagai berikut:
a. Akal Material (Al-'Aql al-Hayulaniy).
Perkembangan akal pada fase awal ini masih berupa potensi. Al-Farabi
menyebutnya al-‘aql bi al-quwwah sebagai kondisi materi yang siap menerima
gambaran obyek rasional (ma’qûlât). Kondisi akal pada tahap ini oleh al-Ghazali
diumpamakan seperti adanya kemampuan menulis pada anak kecil yang belum dapat
menulis. Potensi menulis itu ada tapi belum aktual.
12
b. Akal Habitual (Al-'Aql bi al-Malakah).
Dalam al-Qistâs al-Mustaqîm akal ini disebut dengan gharîzah al-'aql
(insting akal). Yang oleh al-Kindi disebut sebagai al-'aql bi al-mumkin.
Disebut demikian karena akal telah dimungkinkan untuk mengetahui
pengetahuan aksiomatis (al-‘ulûm al-darûriyyât) secara reflektif. Pengetahuan
inilah yang disebut sebagai pengetahuan rasional pertama (al-ma'qûlah al-ûlâ).
c. Akal Aktual (Al-'Aql bi al-Fi'il).
Perkembangan akal pada fase ketiga ini telah mampu menggunakan
pengetahuan pertama Akal Habitual sebagai premis mayor dalam dialektika untuk
memperoleh pengetahuan rasional kedua (al-ma'qûlah al-tsâniyah). Kegiatan berfikir
pada fase ini bukan semata-mata merupakan aktifitas akal murni, tetapi juga
menggunakan daya al-mutakhayyilah yang ada pada jiwa sensitif. Jadi informasi dari
al-mutakhayyilah –yang berfungsi untuk menyusun dan atau memisahkan
pengetahuan- diambil kesimpulannya oleh akal tersebut. Kegiatan berfikir pada tahap
ini merupakan kegiatan bersama antara al-mutakhayyilah dengan akal.
Dalam filasafat Yunani dan Romawi sebelum Islam, perkembangan akal pada
fase ini adalah puncak dari perkembangan akal yang tidak mungkin bias dberdayakan
lebih tinggi lagi. Namun menurut para filoosf Muslim terutama al-Farabi, hal itu
masih bias dikembangkan lagi menjadi akal mustafād.
d. Akal Perolehan (Al-Aql al-Mustafâd).
Pada perkembangan fase terakhir ini menurut parea filosof Muslim seperti al-
Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali dan lain-lain, merupakan bentuk pengaktifan akal hingga
mampu mencapai level ladunni.
Pada tingkatan ini, akal telah mempunyai pengetahuan-pengetahuan aktual dan
memiliki kesadarannya secara faktual. Berbeda dengan aktifitas berfikir pada fase
sebelumnya, di mana akal secara aktif menciptakan bentuk-bentuk pengetahuan baru;
pada tahap ini akal hanya bersifat pasif. Pengetahuan-pengetahuan pada fase terakhir
ini, telah hadir dengan sendirinya tanpa memerlukan kegiatan berfikir. Oleh karena
itu ia disebut dengan al-mustafâd (perolehan). Akal ini juga sering disebut dengan al-
aql al-qudsiy (akal suci). Pengetahuan tersebut merupakan limpahan dari akal yang
selamanya aktual yaitu Akal Aktif.
13
Seperti juga al-Farabi dan para filosof sebelumnya, al-Ghazali -dalam Mi'yâr al-'Ilm-
menyatakan bahwa Akal Aktif itu adalah malaikat yang bertugas untuk memberii
pengetahuan kepada manusia.
Dalam pandangan al-Ghazali tabiat akal adalah obyektif dan selamanya benar.
Jika ia tersalah dalam kesimpulannya itu, bukan karena fitrahnya tetapi lebih
dikarenakan oleh adanya kesalahan dari perangat luar yang dapat menghalangi cahaya
kebenaran seperti kesalahan indra dalam menyerap empiris, adanya hayalan (wahm).
Ketika akal terbebas dari kabut hayalan, ia akan dapat melihat segala sesuatu secara
obyektif sebagaimana adanya. Oleh karena itu al-Ghazali menjadikan akal tersebut
sebagai standar (mizân) bagi kebenaran dalam setiap kondisi.
Namun demikian menurut al-Ghazali tabiat akal itu tidak mampu untuk
mengetahui kebenaran dalam permasalahan ghaib. Oleh karena itu akal semestinya
"diam" dan menerima pengetahuan yang disampaikan oleh intuisi. Dalam al-Maqsûd
al-Asnâ sebagaimana dikutip oleh Qasim, ia mengatakan bahwa seluruh ilmuwan
menyadari bahwasanya akal tidak dapat menunjukkan kejadian setelah mati, tidak
mampu menguraikan bahayanya maksiat dan manfaatnya taat, baik secara terinci
maupun global. Bahkan mereka sepakat bahwa seseorang tidak akan mampu
mencapai alam ghaib kecuali hanya dengan cahaya kenabian yang merupakan daya di
luar akal. Dengan nûr itulah diungkap permasalahan ghaib masa lalu dan yang akan
datang, bukan dengan cara menyelidiki sebab-sebab rasional.
Jadi, menurut al-Ghazali tingkatan kebenaran tertinggi adalah tingkatan basîrah
yang sempurna yang ada pada para rasul dan nabi, disusul para ahli musyâhadah dan
dzauq. Tingkat di bawahnya adalah tingkatan rasional ‘kemudian tingkatan tamyîz
(daya pembeda) dan tingkat terendah adalah tingkatan indrawi.
Penjelasan ini menunjukkan transformasi intelektualitas manusia bergerak dari
potensial menuju kemampuan sederhana hingga mencapai tingkat kemampuan yang
lebih kompleks. Secara global dapat dikatakan bahwa pengetahuan itu diawali dari
pengetahuan empirik kepada pengetahuan rasional dan selanjutnya kepada
kemampuan intuitif. al-khârij), maka untuk menjangkau fenomena rasional ia dibekali
otak yang merupakan indra dalam (al-mudrikah min al-dâkhil). Adapun pengetahuan
intuitif Jika untuk menjangkau fakta empirik manusia telah dilengkapi panca indra
(al-mudrikah min / hudûri merupakan pemberian dari Allah untuk hati yang telah
14
mencapai kadar kesucian dan kekuatan isti`ânah tertentu tanpa perantara antara
dirinya dan Allah. Inilah ilham, sedangkan wahyu adalah proses penerimaan nûr ilahi
yang mempersyaratkan kesempurnaan dan kebersihan jiwa dari kesalahan, terputus
dari syahwat duniawi, dan penyerahan diri seutuhnya kepada Allah. Hal inilah yang
membuahkan kejernihan batin dan kesiapan jiwa untuk menerima pancaran nûr ilahi
dan seluruh ilmu tergambar di dalamnya.
Pengetahuan manusia yang bersifat indrawi dan rasional adalah pengetahuan terbatas
dan tidak dapat mengaitkan diri dengan alam ghaib. Adapun pengetahuan rabbaniyah
(ladunni) merupakan satu-satunya pengetahuan yang mengaitkan –secara langsung-
antara manusia dengan Allah. Pengetahuan inilah yang dapat menimbulkan
ketenangan, kebahagiaan dan kenikmatan pengetahuan hakiki.
5. Al-Qalb
Sebagaimana al-nafs, al-‘aql dan al-rûh, kata al-qalb oleh al-Ghazali dibedakan atas
dua makna yakni: pertama, Daging berbentuk buah sanaubar yang terletak di dada sebelah kiri
yaitu daging khusus yang di dalamnya ada lubang, dan di dalam lubang itu ada darah hitam
yang merupakan sumber ruh (dalam arti jiwa sensitif-pen.) dan tambangnya (pembuluh darah
pen.). Hati dalam makna ini ada pada binatang bahkan ada pada mayat dan karena ia hanyalah
sepotong daging yang tidak ada kemulyaannya dan termasuk alam materi (‘alam al-mulki wa
al-syahâdah) karena binatang dapat mengetahuinya dengan indra penglihatannya, lebih-lebih
manusia. Makna kedua, Al-qalb adalah sesuatu yang halus, bersifat ketuhanan (rabbâniyah),
bersifat ruhani dan berkaitan dengan hati jasmani. Hati ini adalah hakikat manusia. Dialah yang
menyerap, mengetahui, mengenal dari manusia, yang diajak bicara (oleh Allah), yang disiksa,
yang dicela dan yang dituntut. Kaitannya dengan hati jasmani itu seperti kaitan perangai yang
baik dengan tubuh dan sifat-sifat dengan yang disifati, atau kaitannya pemakai alat dengan
alatnya atau seperti orang yang menempati suatu tempat dengan tempatnya.
Al-qalb dalam makna hakiki ini berkaitan dengan hati jasmaniyah. Kaitan itu seperti
kaitan sifat dengan yang disifati, atau seperti kaitan alat dengan pemakainya, atau seperti kaitan
tempat dengan yang menempatinya. Kelihatannya ada dua hal yang menghambat al-Ghazali
untuk menjelaskan lebih lanjut tentang persoalan hakikat al-qalb ini yaitu: pertama, karena ini
termasuk persoalan ilmu mukasyafah yang bukan menjadi tujuan pembicaraan ilmu muamalah.
15
Kedua, karena persoalan pengungkapan hakikat ruh tidak dibicarakan oleh Rasulullah.
Karenanya pembahasan tentang al-qalb ini lebih pada persoalan sifat dan keadaannya saja.
Mirip penjelasan al-Ghazali, al-’ârif billâh Ibn ’Ajibah al-Hasani –pen-syarakh Hikam-
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan nafs, aql, rûh, dan sirri adalah hal yang satu.
Perbedaan sebutan itu kalau menurutnya lebih karena perbedaan capaian dan pemahaman.
Adapun yang capaiannya syahwat itu disebut nafs, yang capaiannya hukum-hukum syariat
disebut ’aql, sedangkan yang capaiannya penampakan keagungan Allah (tajalliyât) disebut
ruh. Adapun yang capaiannya hakikat sesuatu disebut sirri. Semua itu menurut Ibn ’Ajibah,
menempati tempat yang satu. Sedikit berbeda dengan Ibn ’Ajibah, secara fungsional Imam
Qusyairi menjelaskan bahwa sirr adalah tempat penyaksian keagungan Allah (musyahadah),
ruh tempat cinta ilahiyah (mahabbah), dan qalb adalah tempat mengenal Allah (ma’rifat).
Adanya perbedaan analisis para sufi ini –meskipun tipis- menunjukkan bahwa
persoalan hakikat daya ruhani merupakan persoalan yang sangat halus. Namun demikian
mereka sepakat bahwa hakikat dari semua daya itu adalah satu. Dari penjelasan itu dapat
disimpulkan bahwa nafsu adalah tempat syahwat dan ghadab. Aql tempat segala yang rasional
dan qalb adalah tempat ma’rifat.

More Related Content

DOCX
Makalah tentang syirik
PPTX
Ppt akhlak & kepribadian seorang muslim
PPTX
Akhlakul Karimah
PPTX
Aqidah ppt
PPTX
Iman dan Pengaruhnya Bagi Kehidupan
PPT
Perkembangan keagamaan pada anak
PPTX
Modul Perkembangan Peserta Didik KB 4- Perkembangan Moral Dan Spiritual Peser...
PPTX
Riya, sum’ah, ujub dan takabur adalah
Makalah tentang syirik
Ppt akhlak & kepribadian seorang muslim
Akhlakul Karimah
Aqidah ppt
Iman dan Pengaruhnya Bagi Kehidupan
Perkembangan keagamaan pada anak
Modul Perkembangan Peserta Didik KB 4- Perkembangan Moral Dan Spiritual Peser...
Riya, sum’ah, ujub dan takabur adalah

What's hot (20)

PPTX
PPTX
Psikologi Agama & Kesehatan Mental.pptx
PPT
Psikologi agama 1
PPTX
Ppt aqidah islam
PPTX
Konsep tujuan pendidikan islam
PDF
Presentasi Motivasi Islami - Presentasi Islam
PPS
Ringkasan nizhamul islam @abayabuhamzah
PPTX
Presentasi integrasi iman, ilmu, dan amal
PPTX
PPS
Presentasi Fiqh Zakat
DOCX
sejarah dan perkembangan ilmu tauhid
PPTX
Agama dalam kehidupan manusia
PPTX
Konsep maqamat dan ahwal dalam tasawuf
PPTX
Perkembangan agama pada individu
PPTX
Tujuan Proses Pendidikan Islam PPT
PDF
Konsep Dasar Tasawuf
PPTX
asmaul-husna-materi-pai-kelas-10.pptx
PPTX
Powerpoint Akhlak
PPTX
Syirik dan bahaya bagi manusia
PPT
Pertemuan ke-10 Carl Gustav Jung
Psikologi Agama & Kesehatan Mental.pptx
Psikologi agama 1
Ppt aqidah islam
Konsep tujuan pendidikan islam
Presentasi Motivasi Islami - Presentasi Islam
Ringkasan nizhamul islam @abayabuhamzah
Presentasi integrasi iman, ilmu, dan amal
Presentasi Fiqh Zakat
sejarah dan perkembangan ilmu tauhid
Agama dalam kehidupan manusia
Konsep maqamat dan ahwal dalam tasawuf
Perkembangan agama pada individu
Tujuan Proses Pendidikan Islam PPT
Konsep Dasar Tasawuf
asmaul-husna-materi-pai-kelas-10.pptx
Powerpoint Akhlak
Syirik dan bahaya bagi manusia
Pertemuan ke-10 Carl Gustav Jung
Ad

Similar to Modul 11 kb 2 (20)

PDF
Bahaya hawa nafsu
PPT
Psikologi kepribadian dalam perspektif islam by: Yulianti DA and team
DOCX
Proses pembentukan kepribadian sosial yang islami di dasarkan dengan hadits r...
DOCX
Apa itu manusia
PDF
Bait 13 Syiir tanpo waton -- 10012025.pdf
PPTX
Mata Kuliah Agama Islam Hakikat manusia.pptx
DOCX
Komunikasi spiritual dalam islam
PPTX
Potensi Dasar Manusia
PPTX
Penghantar bimbingan dan kaunseling
PDF
Majalah with Adobe InDesign
PPTX
psikologi dalam islam
PDF
Pendidikan Agama ISlam "Mengenal Bagaimana Manusia Bertuhan "
PPTX
Pemikiran dan Perbandingan Para Filosof Muslim_Kelas A farmasi.pptx
PPT
Kepribadian menurut Islam dalam pembelajaran
PPTX
PPT PSIKOLOG.pptx
DOCX
Wawancara i
DOCX
E valuasi 1
DOCX
Pendidikan Ruhani
PPT
3. FILSAFAT KETUHANAN DALAM ISLAM.ppt
PPT
BAB 1 FILSAFAT_KETUHANAN_DALAM_ISLAM.ppt
Bahaya hawa nafsu
Psikologi kepribadian dalam perspektif islam by: Yulianti DA and team
Proses pembentukan kepribadian sosial yang islami di dasarkan dengan hadits r...
Apa itu manusia
Bait 13 Syiir tanpo waton -- 10012025.pdf
Mata Kuliah Agama Islam Hakikat manusia.pptx
Komunikasi spiritual dalam islam
Potensi Dasar Manusia
Penghantar bimbingan dan kaunseling
Majalah with Adobe InDesign
psikologi dalam islam
Pendidikan Agama ISlam "Mengenal Bagaimana Manusia Bertuhan "
Pemikiran dan Perbandingan Para Filosof Muslim_Kelas A farmasi.pptx
Kepribadian menurut Islam dalam pembelajaran
PPT PSIKOLOG.pptx
Wawancara i
E valuasi 1
Pendidikan Ruhani
3. FILSAFAT KETUHANAN DALAM ISLAM.ppt
BAB 1 FILSAFAT_KETUHANAN_DALAM_ISLAM.ppt
Ad

More from kasmuddin nanang (20)

PDF
Modul 14 kb 4
PDF
Modul 14 kb 3
PDF
Modul 14 kb 1
PDF
Modul 14 kb 2
PDF
Modul 13 kb 4
PDF
Modul 13 kb 3
PDF
Modul 13 kb 2
PDF
Modul 13 kb 1
PDF
Modul 12 kb 4
PDF
Modul 12 kb 3
PDF
Modul 12 kb 2
PDF
Modul 12 kb 1
PDF
Modul 11 kb 4
PDF
Modul 11 kb 3
PDF
Modul 11 kb 1
PDF
Modul 10 kb 4
PDF
Modul 10 kb 3
PDF
Modul 10 kb 2
PDF
Modul 10 kb 1
PDF
Modul 9 kb 4
Modul 14 kb 4
Modul 14 kb 3
Modul 14 kb 1
Modul 14 kb 2
Modul 13 kb 4
Modul 13 kb 3
Modul 13 kb 2
Modul 13 kb 1
Modul 12 kb 4
Modul 12 kb 3
Modul 12 kb 2
Modul 12 kb 1
Modul 11 kb 4
Modul 11 kb 3
Modul 11 kb 1
Modul 10 kb 4
Modul 10 kb 3
Modul 10 kb 2
Modul 10 kb 1
Modul 9 kb 4

Recently uploaded (20)

PPTX
Pembelajaran-Mendalam-RTL-dan-Umpan-Baliknya.pptx
PPTX
!!!!Bahan Tayang Kompetensi Manajerial-AKUNTABILITAS KINERJA-DR Asep Iwa.pptx
PDF
PPT Yudisium Ceremony Agusus 2025 - new. pdf
PPTX
Presentasi Al-Quran Hadits Kelompok XI.1
PPTX
Saint Maximilian Kolbe, Polish friar, priest, missionary and martyr (indonesi...
PPTX
PPT POLA PIKIR BERTUMBUH Grow Mindset_2025.pptx
PDF
2021 KREATIFITAS DNA INOVASI DALAM BERWIRAUSAHA.pdf
PDF
AI-Driven Intelligence and Cyber Security: Strategi Stabilitas Keamanan untuk...
PPTX
Pedoman & Kewajiban Penggunaan Produksi Dalam Negeri _Pelatihan "Ketentuan T...
DOCX
Modul Ajar Deep Learning PKN Kelas 10 SMA Terbaru 2025
PPTX
materi presentasi sustainable development
DOCX
Modul Ajar Deep Learning Prakarya Budidaya Kelas 12 SMA Terbaru 2025
PPTX
Materi Besaran, Satuan, Pengukuran.pptx
PDF
Laporan On The Job TRaining PM KS Siti Hikmah.pdf
PDF
System Requirement Enterprise Resource Planning Peternakan Ayam dan Daftar Ju...
PDF
Tren dan Isu Kebutuhan Soft Skill dan Hard Skill Tenaga Kesehatan di RS - dr....
PPTX
Perubahan Pengertian_Istilah _Pelatihan "Ketentuan TERBARU Pengadaan Pemerin...
DOCX
Modul Ajar Deep Learning PKWU Rekayasa Kelas 12 SMA Terbaru 2025
PDF
LK Modul 3 - Menentukan Pengalaman Belajar Herpina Indah Permata Sari (2).pdf
PPTX
Modul 3 Prinsip-Pembelajaran-Mendalam.pptx
Pembelajaran-Mendalam-RTL-dan-Umpan-Baliknya.pptx
!!!!Bahan Tayang Kompetensi Manajerial-AKUNTABILITAS KINERJA-DR Asep Iwa.pptx
PPT Yudisium Ceremony Agusus 2025 - new. pdf
Presentasi Al-Quran Hadits Kelompok XI.1
Saint Maximilian Kolbe, Polish friar, priest, missionary and martyr (indonesi...
PPT POLA PIKIR BERTUMBUH Grow Mindset_2025.pptx
2021 KREATIFITAS DNA INOVASI DALAM BERWIRAUSAHA.pdf
AI-Driven Intelligence and Cyber Security: Strategi Stabilitas Keamanan untuk...
Pedoman & Kewajiban Penggunaan Produksi Dalam Negeri _Pelatihan "Ketentuan T...
Modul Ajar Deep Learning PKN Kelas 10 SMA Terbaru 2025
materi presentasi sustainable development
Modul Ajar Deep Learning Prakarya Budidaya Kelas 12 SMA Terbaru 2025
Materi Besaran, Satuan, Pengukuran.pptx
Laporan On The Job TRaining PM KS Siti Hikmah.pdf
System Requirement Enterprise Resource Planning Peternakan Ayam dan Daftar Ju...
Tren dan Isu Kebutuhan Soft Skill dan Hard Skill Tenaga Kesehatan di RS - dr....
Perubahan Pengertian_Istilah _Pelatihan "Ketentuan TERBARU Pengadaan Pemerin...
Modul Ajar Deep Learning PKWU Rekayasa Kelas 12 SMA Terbaru 2025
LK Modul 3 - Menentukan Pengalaman Belajar Herpina Indah Permata Sari (2).pdf
Modul 3 Prinsip-Pembelajaran-Mendalam.pptx

Modul 11 kb 2

  • 1. 1 Setelah membaca dan memhami materi kegiatan belajar 1 ini diharapkan saudara dapat: 1. Menganalisis hakikat manusia dalam Islam 2. Menganalisis daya-daya ruhani dalam Islam Saudara-saudara sekalian, pada bahan kegiatan belajarakan dibahas empat materi pokok tentang aspek-aspekdīn al-Islām. Pada bagian pertama akan dibahas tentang hakikat manusia. Pada bagian kedua akan dibahas tentang daya-daya ruhani. Kepada saudara, diharapkan untuk dapat membaca dan memahami materi kegiatan belajar dengan sebaik-baiknya baik agar tujuan pembelajaranyang diharapkan dapat dicapai secara optimal. HAKIKAT MANUSIA A. Ruh sebagai Hakikat Manusia Manusia terdiri atas dua bagian yaitu badan dan jiwa. Keduanya merupakan hal yang sama sekali berbeda. Badan adalah materi gelap yang kasar, tersusun, bersifat tanah, tidak berfungsi keadaannya kecuali dengan ruh. Manusia disatu sisi, jasmani, berasal dari alam khalq dan dari sisi lain, Ruhanainya dari alam amr. Sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Farabi bahwa Segala hal yang memungkinkan untuk diukur, dikuantifikasikan dan ditakar, maka ia adalah dari alam khalq. Sedangkan jiwa tidak bisa diukur atau ditakar, karena itu ia tidak bisa dibagi. KEGIATAN BELAJAR 2: SUBCAPAIAN PEMBELAJARAN URAIAN MATERI
  • 2. 2 Adapun hakikat manusia adalah ruhani. Dalam rangkaian eksistensialnya meskipun kelihatannya jasmanilah yang lebih awal, sesungguhnya ia adalah akhir. Sedangkan ruhani itu memang kelihatannya terakhir (masa nafkh al-rûh pen.), tetapi ia adalah yang awal. al-Ghazali (1058-1111) dalam al-Risâlah al-Ladunniyah, menjelaskan bahwa jasmani manusia adalah aksiden (‘arad) sedang substansinya (jauhar) adalah ruhani. Badan adalah perangkat ruhani. Ruhanilah yang sesungguhnya menerima beban syariah (taklîf), yang menerima titah syar’i (khitâb), ganjaran dan siksa, menerima kesenangan dan kesedihan. Jiwa inilah yang disebut ruh sebagai hakikat manusia. Di dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, al-Ghazali menjelaskan dua makna untuk al-rûh yaitu pertama, sejenis sesuatu yang halus yang bersumber pada lubang hati jasmani, lalu menyebar melalui pembuluh darah yang merasuk ke seluruh anggota tubuh. Peredaran ruh pada tubuh dan limpahan cahaya kehidupan, perasaan, penglihatan, pendengaran, dan penciumannya, pada seluruh anggota tubuh seperti limpahan cahaya lampu yang diedarkan di setiap sudut rumah. Sesungguhnya lampu itu tidak sampai pada suatu bagian rumah, melainkan ia menerangi dengan cahaya itu. Kehidupan ini seperti cahaya yang nampak pada dinding ruangan, sedangkan ruh adalah seperti lampunya. Pergerakan ruh di dalam tubuh itu seperti gerakan lampu di sekeliling rumah yang digerakkan oleh penggerak lampu itu. Al-Rûh dalam makna ini tidak dipakai dalam tasawuf. Makna kedua, adalah (sesuatu) yang halus, yang mengetahui, yang menyerap dari manusia. Ia yang telah kami uraikan dalam salah satu dari makna hati dan itulah yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala dengan firmanNya: “Qul al-rûh min amri rabbi.” (Qs. Al-Isrâ`: 85). Ruh adalah persoalan yang mengagumkan, bersifat ketuhanan (rabbâni) di mana mayoritas akal tidak mampu memahami hakikatnya. Ketika mengomentari Qs. Al-Isrâ`/ 17: 85,‫ي‬ِ‫ب‬َ‫ر‬ ِ‫ر‬ْ‫م‬َ‫أ‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ُ‫ح‬‫و‬ُّ‫الر‬ ِ‫ل‬ُ‫ق‬ ِ‫وح‬ُّ‫الر‬ ِ‫ن‬َ‫ع‬ َ‫َك‬‫ن‬‫و‬ُ‫ل‬َ‫ئ‬ْ‫س‬َ‫ي‬ َ‫و‬ al- Ghazali mengatakan bahwa amr al-bâriy ta’âla bukanlah jasmani dan bukan pula aksiden (‘arad), akan tetapi ia adalah daya ketuhanan (quwwah ilâhiyah), substansi (jauhar) yang kekal yang fenomenanya seperti Akal Pertama, al-Lauh al-Mahfûdz, dan al-Qalam. Sesungguhnya ruh merupakan bagian dari keseluruhan qudrah ilâhiyah. Mengomentari ayat di atas, Imam Fakhrur Razi menjelaskan bahwa ruh adalah substansi tunggal yang unik (basît) yang tidak dapat tercipta kecuali melalui firman Allah kun fa yakûn. Kehadiran ruh ini karena amr (perintah) Allah guna memberi mafaat bagi badan. Ruh ini pada awalnya kosong dari ilmu pengetahuan. Dalam proses kehidupan ia berubah dari satu kondisi ke kondisi yang lebih maju, dari kekurangan menuju kesempurnaan. Abu Abdillah bin Nabaji mengatakan bahwa ruh adalah sesuatu yang terlalu halus untuk dilihat dan terlalu besar
  • 3. 3 untuk disentuh. Ia tidak dapat diungkapkan dengan cara lain kecuali bahwa dia itu maujud. Namun demikian menurut al-Hujwiri, semua sufi dan kebanyakan muslim sepakat bahwa ruh adalah substansi bukan aksiden. Ruh itu halus dan berjisim, karena itu ia dapat dilihat. Hanya saja untuk melihatnya harus menggunakan mata hati. Ruh bisa menempati tembolok burung atau menjadi pasukan yang bergerak ke sana ke mari, sebagaimana dijelaskan oleh hadis Rasulullah saw. Penjelasan al-Ghazali, yang membagi ruh dalam dua makna yakni makna hakiki dan lahiriyah, kelihatannya mewakili keragaman penjelasan yang diberikan oleh para ulama ini. Sesungguhnya menurut al-Ghazali, ruh yang merupakan hakikat manusia adalah substansi tunggal yang tepisah dari materi. Ia adalah sinar murni (adwa mujarradah) yang rasional dan bukan teresterial. Sebutan ruh atau al-qalb dalam bahasa kita merupakan keadaan substansi itu. Masih menurut al-Ghazali, ruh itu tidak akan rusak, tidak akan hancur dan tidak mati kecuali sekedar berpisah dengan badan dan yang menunggu kembali kepada Allah pada hari Kiamat sebagaimana dijelaskan oleh syariat. Jadi al-rûh al-nâtiq itu tidak berjisim, bukan aksiden (‘arad), tetapi ia adalah substansi (jauhar) yang tetap (tsâbit), kekal (dâ`im), tidak rusak, tidak campur, tidak hancur, tidak mati. Karena itu Allah menyandarkan ruh ini sesekali pada amr-Nya (Qs. al-Isra`: 85) dan sesekali pada keagungannya (Qs. al-Hajr/15: 29 al- Tahrîm/66: 12). Bunyi Qs. al-Hajr/15: 29 adalah: ُ‫ه‬َ‫ل‬ ‫وا‬ُ‫ع‬َ‫ق‬َ‫ف‬ ‫ي‬ ِ‫وح‬ُّ‫ر‬ ‫ن‬ِ‫م‬ ِ‫ه‬‫ي‬ِ‫ف‬ ُ‫ت‬ْ‫خ‬َ‫ف‬َ‫ن‬ َ‫و‬ ُ‫ه‬ُ‫ت‬ْ‫ي‬ َّ‫و‬َ‫س‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫إ‬َ‫ف‬َ‫ِين‬‫د‬ ِ‫اج‬َ‫س‬ (“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadianya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduk kamu kepadanya dengan bersujud.”) Bunyi Qs. al-Tahrîm/66: 12 adalah: ‫ا‬َ‫ه‬َ‫ج‬ ْ‫ر‬َ‫ف‬ ْ‫َت‬‫ن‬َ‫ص‬ْ‫ح‬َ‫أ‬ ‫ى‬ِ‫ت‬َّ‫ل‬‫ا‬ َ‫ان‬ َ‫ر‬ْ‫م‬ِ‫ع‬ َ‫َت‬‫ن‬ْ‫ب‬‫ا‬ َ‫م‬َ‫ي‬ ْ‫ر‬َ‫م‬ َ‫و‬َ‫و‬ ِ‫ه‬ِ‫ب‬ُ‫ت‬ُ‫ك‬ َ‫و‬ ‫ا‬َ‫ه‬ِ‫ب‬َ‫ر‬ ِ‫ت‬‫ا‬َ‫م‬ِ‫ل‬َ‫ك‬ِ‫ب‬ ْ‫ت‬َ‫ق‬َّ‫د‬َ‫ص‬ َ‫و‬ ‫َا‬‫ن‬ ِ‫وح‬ُّ‫ر‬ ‫ن‬ِ‫م‬ ِ‫ه‬‫ي‬ِ‫ف‬ ‫َا‬‫ن‬ْ‫خ‬َ‫ف‬َ‫ن‬َ‫ف‬َ‫ِين‬‫ت‬ِ‫ن‬‫ا‬َ‫ق‬ْ‫ال‬ َ‫ن‬ِ‫م‬ ْ‫َت‬‫ن‬‫َا‬‫ك‬ (“dan Maryam puteri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan Kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.) Bagi ruh yang merupakan substansi tunggal, jasmani adalah aksiden (arad) yang tidak bisa tidak membutuhkan eksistensinya. Aksiden tidak akan eksis tanpa substansi. Akan tetapi substansi tersebut (ruh) tidak inkarnasi pada suatu keadaan dan tidak menempati suatu tempat. Jadi badan bukanlah tempat ruh atau al-qalb, tetapi ia adalah sarana bagi ruh, peralatan al-qalb serta kendaraan bagi al-nafs. Dilihat dari substansinya, ruh adalah dari jenis malaikat. Akan tetapi untuk mengerti hakikat ruh yang sesungguhnya adalah sangat sulit, karena agama tidak menjelaskan
  • 4. 4 bagaimana cara mengetahuinya. Tidak adanya penjelasan yang cukup dari agama dalam hal ini, bukan karena tidak adanya kebutuhan agama terhadap persoalan ini, tetapi karena agama adalah persoalan usaha (mujâhadah) sedangkan pengenalan terhadap hakikat ruh adalah persoalan hidayah. Sebagaimana firman Allah dalam Qs al-Ankabût/ 29: 69: walladzîna jâhadû fîna lanahdiyannahum subulanâ(“Orang-orang yang benar-benar berusaha dalam agama Kami, niscaya Kami akan beri petunjuk kepada mereka jalan Kami”). Padahal ma’rifat terhadap hakikat dan sifatnya adalah kunci ma’rifat Allah SWT. Dalam hal ini al-Ghazali mewajibkan kita untuk bermujâhadah sehingga dapat mengetahui hakikat ruh tersebut. Ia mewajibkan mujâhadah sebagai metode untuk menelusuri hakikat ruh, bukan tafakkur karena obyek kajian yang akan dijangkau adalah hal ghaib yang hanya bisa raih secara irfani/ huduri. Di dunia ini, ruh tidak menyibukkan dirinya kecuali dengan mencari ilmu, karena ilmu itulah yang akan menjadi hiasannya di akhirat nanti. Ruh yang telah mutma`innah tidak memiliki keinginan lain kecuali ilmu dan tidak akan rida kecuali dengannya, bahkan ia akan senantiasa belajar sepanjang hayatnya. B. Ragam Jiwa Manusia Ruh adalah bersifat substantif, tunggal (al-jauhary al-mufrad) yang menerangi, yang menyerap, pelaku, penggerak, penyempurna segenap perangkat dan jasmani. Ruh yang oleh para filosof muslim disebut jiwa rasional, inilah yang merupakan jiwa hikiki, namun demikian ternyata dalam diri manusia masih terdapat jiwa-jiwa yang lain yang berkaitan dan menjadi alat bagi jiwa hakiki ini. Ragam jiwa itu selanjutnya oleh para filosof Muslim seperti al-Ghazali (450-505/ 1058-1111), mengikuti al-Farabi (w. 339/ 870-950) dan Ibn Sina (370- 429/ 980-1037), dibedakan menjadi tiga yaitu jiwa vegetatif (al-nafs al-tabî'iy), jiwa sensitif (al-nafs al-hayawâniyah), dan jiwa rasional (al-nafs al-nâtiqah). Pembagian jiwa menjadi tiga bagian ini, yang mengadopsi penjelasan Aristoteles. Aristoteles adalah filosof Yunani yang membagi jiwa dalam tiga kategori yaitu Jiwa Tumbuhan (Ame Végétative) yang merupakan prinsip nutrisi, tumbuh dan reproduksi; Jiwa Hewan (Ame Sensitive) yang merupakan landasan dari indra dan gerak; serta Jiwa Rasional (Ame Pensante) yang merupakan landasan bagi pemikiran. Aristoteles, sebagaimana dijelaskan Taftazani, mengkhususkan jiwa rasional itu pada manusia tidak pada hewan. Sebagaimana Hewan memiliki kelebihan jiwa sensitif, sedangkan tumbuhan tidak. 1. Jiwa vegetatif (al-nafs al-tabî’iy)
  • 5. 5 Jiwa vegetatif merupakan penyempurna pertama badan yang merupakan potensi dan memiliki perangkat untuk makanan/ nutrisi, tumbuhan, dan reproduksi. Daya- daya pada jiwa vegetatif, menurut al-Ghazali, semuanya dipersiapkan sebagai pelayan bagi jasmani, sedangkan jasmani merupakan pelayan bagi daya sensitif/ hewani. 2. Jiwa sensitif (al-nafs al-hayawâniyah) Jiwa Hayawaniyah penyempurna pertama bagi jasmani yang merupakan potensi dan memiliki perangkat untuk yang menyerap segala obyek parsial (juz`iyat) dan menggerakkan badan dengan kehendak (irâdah). Nafsu yang terdiri atas syahwat dan ghadab berada pada daya penggerak (al-quwwah al-muharrikah) yang ada pada jiwa ini. Jiwa hayawaniyah berbentuk badan halus seperti cahaya lampu yang menyala dalam kaca al-qalb (yakni berbentuk jantung yang tergantung di dada). Hidup adalah sinar lampu tersebut, dan darah adalah tempat tinggalnya, sensitifitas dan gerak adalah cahayanya. Nafsu syahwat adalah panasnya. Nafsu ghadab (daya marah) adalah asapnya. Jiwa ini ada pada semua binatang dan manusia. Jiwa hayawaniyah tidak membutuhkan ilmu, tidak mengetahui cara penciptaan dan tidak juga mengetahui hak Sang Pencipta. Karenanya jiwa ini bukanlah pemangku firman Allah dan bukan penerima beban syariat. Sesungguhnya ia adalah pelayan bagi jiwa rasional yang akan mati dengan matinya badan. 3. Jiwa rasional (al-nafs al-nâtiqah) Jiwa rasional adalah jiwa hakiki manusia. Ia adalah substansi (jauhar) tunggal, sempurna, dan hidup dengan sendirinya. Kebaikan dalam beragama dan keburukannya akan lahir dari jiwa ini. Adapun jiwa Vegetatif dan sensitif serta seluruh daya fisik merupakan perangkatnya. Substansi ini menerima segala ilustrasi fenomena dan esensi realitas, tanpa disibukkan dengan rincian dan karakteristiknya. Jiwa rasional ini akan abadi dan tidak hancur, bahkan lebih sempurna dengan matinya badan. Jiwa rasional ini tidak memiliki menghendaki sesuatu kecuali berfikir (al- tafakkur), menghafal (al-tahaffuz), membedakan (al-tamyîz), dan meriwayatkan/ mendeskripsikan (al-riwâyat), menerima seluruh pengetahuan tidak terlepas penerimaan terhadap ilustrasi yang terlepas dari materi. Substansi (jiwa rasional) ini adalah pemimpin jiwa-jiwa (nabâtiyah dan hayawâniyah) dan penguasa daya-daya
  • 6. 6 (al-quwwâ). Seluruh jiwa dan daya-daya itu melayaninya dan menunaikan perintahnya. Dia adalah substansi yang hidup, pelaku, dan penyerap Menurut al-Ghazali jiwa rasional inilah yang oleh para filosof disebut al-jauhar al-nafs al-nâtiqah. Al-Qur`an menyebutnya dengan al-nafs al-mutma`innah atau disebut juga dengan al-rûh al-amriy. Para sufi menyebutnya dengan al-qalb. Sedang al-Ghazali sendiri menggunakan berbagai istilah untuk menjelaskan jiwa ini seperti: al-qalb, al-nafs al-nâtiqah, al-rûh al-nâtiq, al-rûh al-mutlaq, dan al-rûh. Ia menegaskan bahwa perbedaan ini hanya dalam penyebutan sedangkan maknanya satu dan tidak ada perbedaan dalam hal makna ini,
  • 7. 7 1. DAYA-DAYA RUHANI A. Ragam Daya Ruhani Di samping jiwa hakikat manusia ini ternyata masih ada dua jiwa lagi yang ada pada manusia yaitu jiwa tumbuhan dan binatang. Al-Ghazali dan Ibn Sina (980-1037) menyebut tiga jiwa itu dengan al-nafs al-nabâtiyah, al-nafs al-hayawâniyah dan al-nafs al-nâtiqah/ al- nafs al-insâniyah. Manusia sesungguhnya adalah makhluk integrasi antara fenonema materi (al-nafs al-nabâtiyah) dan immateri (al-nafs al-nâtiqah), dengan al-nafs al-hayawâniyah adalah substansi pengantara antara keduanya. Jika tumbuh kembangnya aspek fisiologis ditentukan oleh al-nafs al-nabâtiyah, maka perkembangan aspek ruhani, sangat ditentukan oleh kesucian dan ketajaman al-nafs al-nâtiqah. sedangkan kualitas al-nafs al-hayawâniyah – sebagai pengantara- justru menjadi penentu kualitas aspek fisiologis dan ruhani secara bersamaan. Baik al-Ghazali maupun Ibn Ataillah memastikan bahwa pada al-nafs al- hayawâniyah inilah nafsu (syahwat dan ghadab) berada. Nafsu adalah penentu baik-buruknya ruhani yang selalu tergambar dalam ekspresi jasmani. Nafsu adalah daya ruhani yang memiliki natur negatif. Dalam konteks daya-daya ruhani ini, para sufi secara lebih lengkap menegaskan bahwa struktur ruhani manusia itu terdiri atas lima bagian yaitu: al-nafs, al-‘aql, al-qalb, al-rûh dan al-sirr. Al-Nafs adalah wadah dari syahwat dan ghdab, sedangkan al-’aql (rasio) merupakan standard kebenaran. Imam al-Qusyairiy (w. 465/ 1072) dalam al-Risâlah al-Qusyairiyah menyatakan bahwa al-qalb adalah tempat ma’rifat, al-rûh adalah tempat cinta kasih (al- mahabbah) dan al-sirr adalah tempat musyahadah. Dari penjelasan para sufi tersebut, diketahui bahwa potensi dan daya ruhani sangat variatif. Menjadi sangat naïf jika selama ini yang diberdayakan, diadabkan dalam kehidupan nyata hanya sampai pada pemberdayaan aspek rasional bahkan fisik saja. Menjadi manusia berkualitas adalah bagaimana mengoptimalisasikan lima daya ruhani tersebut secara gradual dan simultan. Hanya orang-orang sufi hakikilah yang sanggup mengortimalkan seluruh daya ini. Pada masyarakat kebanyakan, daya ruhani yang paling menentukan dalam dinamika ruhani hanya tiga yaitu al-nafs, al-’aql,dan al-qalb. Secara metaforis, Al-Ghazali dalam Kîmiyâ` al-Sa’âdah, menggambarkan peran ketiga daya ruhani itu secara metaforis. Menurutnya, jiwa itu laksana sebuah negeri. Ladangnya adalah dua tangan, dua kaki, dan seluruh anggota tubuh lainnya. Tuan tanahnya adalah nafsu seksual (syahwat) dan nafsu agresi
  • 8. 8 (ghadab) adalah penjaganya. Al-Qalb adalah rajanya dan al-’aql adalah perdana menterinya. Wajib bagi sang raja tersebut bermusyawarah dengan perdana menteri, guna menjadikan tuan tanah itu tunduk di bawah kendali perintah perdana menteri, demi kelanggengan kerajaan dan kemakmuran negeri. Demikianlah –menurutnya- kondisi al-qalb yang selalu bermusyawarah dengan al-’aql, guna menjadikan nafsu syahwat dan ghadab di bawah kendali perintahnya. Situasi jiwa benar-benar tentram tersebut akhirnya mampu mencapai sebab kebahagiaan dan ma'rifat terhadap realitas transendental (al-hadrah al-ilâhiyah). Akan tetapi jika akal berada di bawah al-ghadab dan syahwat, maka hancurlah jiwa itu dan jadilah al-qalb sebagai yang celaka di akhirat.” Dari ilustrasi di atas terlihat bahwa al-qalb adalah yang paling utama, namun demikian posisi al-’aql bukanlah hal yang tidak penting. Sebagai wazîr (perdana menteri) ia punya otoritas yang sangat urgen. Dilihat dari penekanan al-Ghazali pada kesepakatan antara al-qalb dan al-’aql dalam membentuk keputusan sikap batin, membuktikan sangat pentingnya hubungan antara keduanya. Al-qalb (dalam makna ruh/ hakikat manusia) itu bukanlah berasal dari alam kasat mata (‘âlam al-khalq) tetapi ia berasal dari alam ghaib (‘âlam al-amr). Oleh karena itu ia menjadi terasing dalam alam ini. Eksistensinya dalam dinamika ruhani adalah sebagai "raja" di mana seluruh anggota tubuh bertindak sebagai pelayannya. Natur dasarnya adalah mengetahui Allah (ma'rîfah Allah) dan menyaksikan keindahan wajahNya (musyâhadah). Dari metafor di atas dapat diketahui bahwa kendali dinamika ruhanilah yang akan menentukan nilai sebuah perilaku. Jika dinamika ruhani tersebut dikendalikan oleh nafsu maka sudah pasti yang akan muncul adalah perilaku negatif (al-akhlâk al-madzmûmah). Sebaliknya jika kendali dalam dinamika ruhani itu berada pada al-qalb yang merupakan wadah hidayah, maka perilaku yang muncul adalah perilaku positif (al-akhlâk al-mahmûdah). Pertanyaannya adalah bagaimana sebenarnya cara mengendalikan sikap batin agar selalu dalam keputusan positif? Bagaimana cara mengendalikan nafsu yang efektif? Tentu ini bukan persolan mudah. Jika al-Ghazali, menyebut fenomena ruhani terdalam hanya sampai pada al-rûh, Imam al-Qusyairiy (w. 465/ 1072) di samping menyebutkan al-qalb sebagai tempat ma’rifat, al-rûh sebagai tempat cinta kasih (al-mahabbah), ia juga menyebut daya al-sirr adalah tempat musyahadah. Analisis tentang daya-daya ruhani oleh para syekh tarikat tampaknya lebih utuh lagi. Syekh Ahmad Khatib Sambas, misalnya, menjelaskan bahwa manusia itu terdiri atas sepuluh unsur halus (latâ`if) di mana lima latâ`if termasuk alam khalqi dan lima berikutnya termasuk alam amr. Yang termasuk alam amr adalah al-qalb, al-rûh, al-sirr, al-khafiy dan al-akhfâ.
  • 9. 9 Sedangkan lima latâ`if yang termasuk alam khalqi adalah latîfat al-nafs dan empat unsur. Kyai Mushlih Mranggen menjelaskan keempat unsur itu adalah air, udara, api dan tanah. B. Daya Ruhani Utama Lebih detail mengenai daya-daya ruhani dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Al-Nafs Dalam Ihyâ`, al-Ghazali menjelaskan makna al-nafs dengan dua makna sebagai berikut: pertama, al-nafs adalah makna menyeluruh bagi daya marah/ agresifitas (al-ghadab) dan daya keinginan (syahwat) dalam diri manusia. Makna ini yang biasanya digunakan oleh ahli tasawuf, karena sesungguhnya mereka menghendaki dengan kata al-nafs itu adalah pokok yang menghimpun bagi sifat buruk dari manusia. Maka mereka mengatakan bahwa harus ber- mujâhadah (perang) melawan nafsu dan memecahkannya. Adapun makna kedua, al-nafs adalah sesuatu yang halus, sebagaimana telah kami jelaskan. Ia adalah manusia secara hakikat. Ia adalah jiwa manusia dan dzatnya. Dalam kitab Ma’ârij al-Quds al-Ghazali juga menjelaskan dua makna tersebut. Yang dimaksud dengan al-nasf dalam makna pertama adalah pengertian yang meliputi keseluruhan sifat buruk. ia adalah daya hewani yang berlawanan dengan daya akal. Inilah pemahaman bagi umumnya para sufi, hingga dikatakan bahwa jihad yang paling utama hendaklah engkau memerangi nafsumu. Al-Razi menegaskan bahwa mengekang dan mengendalikan nafsu merupakan kewajiban bagi semua orang, bagi orang yang berakal dan bagi semua agama, karena ia merupakan sumber kehinaan jiwa. 2. Al-Syahwat Nafsu syahwat adalah segala keinginan yang berkaitan dengan seksualitas, makanan, materi, kedudukan/ jabatan dan prestise. Natur nafsu syahwat selalu rakus dan berhasrat bila melihat lawan jenis, makanan, materi, kekuasaan. Nafsu syahwat menjanjikan kenikmatan badani yang telah banyak menjerumuskan orang untuk hidup sekedar memenuhi aspek ini. Mereka yang terpedaya dengan syahwatnya akan makan dengan berbagai variasi tanpa mempertimbangkan batasan yang diperkenankan agama. Ia tidak mampu mengontrol syahwat, berzina, bangga dengan materi dan kekuasaan, sangat mencintai dunia yang berujung pada melupakan Allah. Ibn Miskawaih menyebut daya syahwat ini dengan al-nafs al-bahîmiyah (jiwa kebinatangan) yang menjadi dasar bagi syahwat, keinginan terhadap makanan, minum,
  • 10. 10 kawin serta kenikmatan indrawi lainnya. Berbeda dengan al-Ghazali menurutnya daya ini berada di hati. Daya syahwat merupakan daya pertama yang ada sejak bayi, baru kemudian disusul daya ghadab saat usia tujuh tahun. Setelah daya ghadab mulai matang baru disusul oleh daya tamyîz. Karena nafsu syahwat dan ghadab mendahului adanya dibanding kematangan daya ruhani lainnya, maka ia lebih membekas di hati dari yang lain. Sebab kedua adalah akhlak yang ada sedari awal kehidupan –di mana daya-daya ruhani belum stabil- terus dikuatkan oleh prilaku yang menuntut kesenangan nafsu itu. Dua sebab itu yang membuat proses perbaikan ruhani ini menjadi tidak mudah. Tujuan perbaikan dan penyucian ruhani bukan meniadakan nafsu secara total, karena hal itu melawan fitrah. Perbaikan ruhani ini lebih ditujukan untuk mengarahkan gejolak nafsu itu pada koridor syara` dan nalar yang sehat. 3. Al-Ghadab Nafsu ghadab (daya marah) adalah daya agresivitas yang berfungsi sebagai penjamin keamanan, sehingga setiap individu dapat tetap survive. Daya agresifitas atau emosi ini sangat penting untuk dapat maraih setiap yang dinginkan syahwat baik berupa makanan, kekayaan, jabatan dan lawan jenis yang menentukan kelangsungan hidup setiap individu. Ibn Miskawaih menyebutnya dengan al-nafs al-syabu’iyah (jiwa kebuasan) yang merupakan sumber kemarahan, penentangan, keberanian, ingin berkuasa, ingin pangkat dan jabatan dan berbagai kesempurnaan lainnya. Berbeda dengan al-Ghazali, ia menganggap pusat daya ini berada di hati. Pada hakekatnya kedua daya ini (syahwat dan ghadab) merupakan prasyarat mutlak untuk kehidupan jasmani. Tanpa adanya keinginan terhadap materi, makan minum, seksualitas dan kekuasaan tentu tidak mungkin manusia dapat bertahan hidup. Tanpa adanya daya agresifitas (ghadab) tentu segala keinginan (syahwat) tidak akan pernah didapatkan. Keinginan tanpa upaya mendapatkan adalah sia-sia. Tanpa keduanya manusia tidak akan bisa eksis. Begitu ia dilahirkan, segera ia akan mati. Bahkan untuk dilahirkan tentu harus ada syahwat yang mengawali, tanpa syahwat tidak ada nikah, tanpa nikah tidak ada kehamilan, tanpa kehamilan tidak ada kelahiran. Maka spesies manusia segera musnah. Inilah fungsi dasar nafsu. Akan tetapi kodrat nafsu yang senantiasa cenderung ke arah materi, seksualitas dan kekuasaan mengantarkan manusia terpenjara di alam rendah materi. Ibn Ataillah mengatakan jika kehidupan ini sekedar memenuhi hal-hal tersebut semata, sungguh hal sama terjadi pada orang kafir bahkan ini adalah keadaan binatang melata.
  • 11. 11 4. Al-Aql Dua makna dasar dijelaskan al-Ghazali ketika menjelaskan al- ’aql dalam Ihyâ`, yaitu pertama, al-‘aql adalah ilmu tentang hakikat persoalan-persoalan. Maka akal dalam konteks ini adalah gambaran dari sifat ilmu yang tempatnya di dalam hati. Adapun makna kedua, al- aql adalah yang menyerap ilmu pengetahuan. Dia ini adalah al-qalb yakni sesuatu yang halus. Istilah al-’aql ini sangat samar karena ia bisa bermakna pelaku sekaligus sifatnya, yang berilmu dan ilmunya. Sesunngguhnya substansi yang mengetahui itu berbeda dengan sifat mengetahui. Akal kadang disebut sebagai sifat, tetapi kadang disebut sebagai yang disifati. Secara hakiki al-’aql adalah substansi yang mengetahui. Sebagaimana dijelaskan oleh Rasululllah SAW bahwa ia adalah yang pertama kali dicipta oleh Allah: ‫ا‬‫العقل‬ ‫هللا‬ ‫ماخلق‬ ‫ول‬ ”Hal pertama yang Allah ciptakan (dalam wujud ini) adalah al-’aql.” Jika al-’aql di sini adalah makhluk maka tidak mungkin dia diartikan sebagai ilmu pengetahuan. HR al-Tabrani Dalam kenyataan sehari-hari diketahui bahwa kemampuan akal untuk memmperoleh pengetahuan tidak berdiri sendiri dan tidak serta merta. Akal mengetahui melalui berbagai proses kematangan. Dinamika penyerapan pengetahuan tersebut diawali dari pengetahuan empiris melalui panca indra yang mengalami kematangan fisiologis secara bertahap. Pada usia sekitar tujuh tahun baru ada sarana pengetahuan rasional yakni dengan munculnya daya pembeda (al-tamyîz) yang oleh al-Ghazali disebut sebagai tahapan lain dari wujud. Daya ini mampu melampaui indra dan membentuk dalil-dalil aksiomatis (pengetahuan darurîy). Beberapa tahun kemudian muncullah daya akal yang lebih sempurna. Dengan daya akal itu seseorang dapat mengetahui hal-hal yang wajib, jaiz dan mustahil serta hal-hal yang terdapat pada tahapan sebelumnya. Pada fase selanjutnya terbukalah sepasang mata batin yang mampu melihat alam ghaib dan menyaksikan apa-apa yang terjadi pada masa lalu dan yang akan datang serta berbagai permasalahan metafisika lainnya. Penjelasan lebih lanjut tentang evolusi akal teoritis tersebut adalah sebagai berikut: a. Akal Material (Al-'Aql al-Hayulaniy). Perkembangan akal pada fase awal ini masih berupa potensi. Al-Farabi menyebutnya al-‘aql bi al-quwwah sebagai kondisi materi yang siap menerima gambaran obyek rasional (ma’qûlât). Kondisi akal pada tahap ini oleh al-Ghazali diumpamakan seperti adanya kemampuan menulis pada anak kecil yang belum dapat menulis. Potensi menulis itu ada tapi belum aktual.
  • 12. 12 b. Akal Habitual (Al-'Aql bi al-Malakah). Dalam al-Qistâs al-Mustaqîm akal ini disebut dengan gharîzah al-'aql (insting akal). Yang oleh al-Kindi disebut sebagai al-'aql bi al-mumkin. Disebut demikian karena akal telah dimungkinkan untuk mengetahui pengetahuan aksiomatis (al-‘ulûm al-darûriyyât) secara reflektif. Pengetahuan inilah yang disebut sebagai pengetahuan rasional pertama (al-ma'qûlah al-ûlâ). c. Akal Aktual (Al-'Aql bi al-Fi'il). Perkembangan akal pada fase ketiga ini telah mampu menggunakan pengetahuan pertama Akal Habitual sebagai premis mayor dalam dialektika untuk memperoleh pengetahuan rasional kedua (al-ma'qûlah al-tsâniyah). Kegiatan berfikir pada fase ini bukan semata-mata merupakan aktifitas akal murni, tetapi juga menggunakan daya al-mutakhayyilah yang ada pada jiwa sensitif. Jadi informasi dari al-mutakhayyilah –yang berfungsi untuk menyusun dan atau memisahkan pengetahuan- diambil kesimpulannya oleh akal tersebut. Kegiatan berfikir pada tahap ini merupakan kegiatan bersama antara al-mutakhayyilah dengan akal. Dalam filasafat Yunani dan Romawi sebelum Islam, perkembangan akal pada fase ini adalah puncak dari perkembangan akal yang tidak mungkin bias dberdayakan lebih tinggi lagi. Namun menurut para filoosf Muslim terutama al-Farabi, hal itu masih bias dikembangkan lagi menjadi akal mustafād. d. Akal Perolehan (Al-Aql al-Mustafâd). Pada perkembangan fase terakhir ini menurut parea filosof Muslim seperti al- Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali dan lain-lain, merupakan bentuk pengaktifan akal hingga mampu mencapai level ladunni. Pada tingkatan ini, akal telah mempunyai pengetahuan-pengetahuan aktual dan memiliki kesadarannya secara faktual. Berbeda dengan aktifitas berfikir pada fase sebelumnya, di mana akal secara aktif menciptakan bentuk-bentuk pengetahuan baru; pada tahap ini akal hanya bersifat pasif. Pengetahuan-pengetahuan pada fase terakhir ini, telah hadir dengan sendirinya tanpa memerlukan kegiatan berfikir. Oleh karena itu ia disebut dengan al-mustafâd (perolehan). Akal ini juga sering disebut dengan al- aql al-qudsiy (akal suci). Pengetahuan tersebut merupakan limpahan dari akal yang selamanya aktual yaitu Akal Aktif.
  • 13. 13 Seperti juga al-Farabi dan para filosof sebelumnya, al-Ghazali -dalam Mi'yâr al-'Ilm- menyatakan bahwa Akal Aktif itu adalah malaikat yang bertugas untuk memberii pengetahuan kepada manusia. Dalam pandangan al-Ghazali tabiat akal adalah obyektif dan selamanya benar. Jika ia tersalah dalam kesimpulannya itu, bukan karena fitrahnya tetapi lebih dikarenakan oleh adanya kesalahan dari perangat luar yang dapat menghalangi cahaya kebenaran seperti kesalahan indra dalam menyerap empiris, adanya hayalan (wahm). Ketika akal terbebas dari kabut hayalan, ia akan dapat melihat segala sesuatu secara obyektif sebagaimana adanya. Oleh karena itu al-Ghazali menjadikan akal tersebut sebagai standar (mizân) bagi kebenaran dalam setiap kondisi. Namun demikian menurut al-Ghazali tabiat akal itu tidak mampu untuk mengetahui kebenaran dalam permasalahan ghaib. Oleh karena itu akal semestinya "diam" dan menerima pengetahuan yang disampaikan oleh intuisi. Dalam al-Maqsûd al-Asnâ sebagaimana dikutip oleh Qasim, ia mengatakan bahwa seluruh ilmuwan menyadari bahwasanya akal tidak dapat menunjukkan kejadian setelah mati, tidak mampu menguraikan bahayanya maksiat dan manfaatnya taat, baik secara terinci maupun global. Bahkan mereka sepakat bahwa seseorang tidak akan mampu mencapai alam ghaib kecuali hanya dengan cahaya kenabian yang merupakan daya di luar akal. Dengan nûr itulah diungkap permasalahan ghaib masa lalu dan yang akan datang, bukan dengan cara menyelidiki sebab-sebab rasional. Jadi, menurut al-Ghazali tingkatan kebenaran tertinggi adalah tingkatan basîrah yang sempurna yang ada pada para rasul dan nabi, disusul para ahli musyâhadah dan dzauq. Tingkat di bawahnya adalah tingkatan rasional ‘kemudian tingkatan tamyîz (daya pembeda) dan tingkat terendah adalah tingkatan indrawi. Penjelasan ini menunjukkan transformasi intelektualitas manusia bergerak dari potensial menuju kemampuan sederhana hingga mencapai tingkat kemampuan yang lebih kompleks. Secara global dapat dikatakan bahwa pengetahuan itu diawali dari pengetahuan empirik kepada pengetahuan rasional dan selanjutnya kepada kemampuan intuitif. al-khârij), maka untuk menjangkau fenomena rasional ia dibekali otak yang merupakan indra dalam (al-mudrikah min al-dâkhil). Adapun pengetahuan intuitif Jika untuk menjangkau fakta empirik manusia telah dilengkapi panca indra (al-mudrikah min / hudûri merupakan pemberian dari Allah untuk hati yang telah
  • 14. 14 mencapai kadar kesucian dan kekuatan isti`ânah tertentu tanpa perantara antara dirinya dan Allah. Inilah ilham, sedangkan wahyu adalah proses penerimaan nûr ilahi yang mempersyaratkan kesempurnaan dan kebersihan jiwa dari kesalahan, terputus dari syahwat duniawi, dan penyerahan diri seutuhnya kepada Allah. Hal inilah yang membuahkan kejernihan batin dan kesiapan jiwa untuk menerima pancaran nûr ilahi dan seluruh ilmu tergambar di dalamnya. Pengetahuan manusia yang bersifat indrawi dan rasional adalah pengetahuan terbatas dan tidak dapat mengaitkan diri dengan alam ghaib. Adapun pengetahuan rabbaniyah (ladunni) merupakan satu-satunya pengetahuan yang mengaitkan –secara langsung- antara manusia dengan Allah. Pengetahuan inilah yang dapat menimbulkan ketenangan, kebahagiaan dan kenikmatan pengetahuan hakiki. 5. Al-Qalb Sebagaimana al-nafs, al-‘aql dan al-rûh, kata al-qalb oleh al-Ghazali dibedakan atas dua makna yakni: pertama, Daging berbentuk buah sanaubar yang terletak di dada sebelah kiri yaitu daging khusus yang di dalamnya ada lubang, dan di dalam lubang itu ada darah hitam yang merupakan sumber ruh (dalam arti jiwa sensitif-pen.) dan tambangnya (pembuluh darah pen.). Hati dalam makna ini ada pada binatang bahkan ada pada mayat dan karena ia hanyalah sepotong daging yang tidak ada kemulyaannya dan termasuk alam materi (‘alam al-mulki wa al-syahâdah) karena binatang dapat mengetahuinya dengan indra penglihatannya, lebih-lebih manusia. Makna kedua, Al-qalb adalah sesuatu yang halus, bersifat ketuhanan (rabbâniyah), bersifat ruhani dan berkaitan dengan hati jasmani. Hati ini adalah hakikat manusia. Dialah yang menyerap, mengetahui, mengenal dari manusia, yang diajak bicara (oleh Allah), yang disiksa, yang dicela dan yang dituntut. Kaitannya dengan hati jasmani itu seperti kaitan perangai yang baik dengan tubuh dan sifat-sifat dengan yang disifati, atau kaitannya pemakai alat dengan alatnya atau seperti orang yang menempati suatu tempat dengan tempatnya. Al-qalb dalam makna hakiki ini berkaitan dengan hati jasmaniyah. Kaitan itu seperti kaitan sifat dengan yang disifati, atau seperti kaitan alat dengan pemakainya, atau seperti kaitan tempat dengan yang menempatinya. Kelihatannya ada dua hal yang menghambat al-Ghazali untuk menjelaskan lebih lanjut tentang persoalan hakikat al-qalb ini yaitu: pertama, karena ini termasuk persoalan ilmu mukasyafah yang bukan menjadi tujuan pembicaraan ilmu muamalah.
  • 15. 15 Kedua, karena persoalan pengungkapan hakikat ruh tidak dibicarakan oleh Rasulullah. Karenanya pembahasan tentang al-qalb ini lebih pada persoalan sifat dan keadaannya saja. Mirip penjelasan al-Ghazali, al-’ârif billâh Ibn ’Ajibah al-Hasani –pen-syarakh Hikam- menyatakan bahwa yang dimaksud dengan nafs, aql, rûh, dan sirri adalah hal yang satu. Perbedaan sebutan itu kalau menurutnya lebih karena perbedaan capaian dan pemahaman. Adapun yang capaiannya syahwat itu disebut nafs, yang capaiannya hukum-hukum syariat disebut ’aql, sedangkan yang capaiannya penampakan keagungan Allah (tajalliyât) disebut ruh. Adapun yang capaiannya hakikat sesuatu disebut sirri. Semua itu menurut Ibn ’Ajibah, menempati tempat yang satu. Sedikit berbeda dengan Ibn ’Ajibah, secara fungsional Imam Qusyairi menjelaskan bahwa sirr adalah tempat penyaksian keagungan Allah (musyahadah), ruh tempat cinta ilahiyah (mahabbah), dan qalb adalah tempat mengenal Allah (ma’rifat). Adanya perbedaan analisis para sufi ini –meskipun tipis- menunjukkan bahwa persoalan hakikat daya ruhani merupakan persoalan yang sangat halus. Namun demikian mereka sepakat bahwa hakikat dari semua daya itu adalah satu. Dari penjelasan itu dapat disimpulkan bahwa nafsu adalah tempat syahwat dan ghadab. Aql tempat segala yang rasional dan qalb adalah tempat ma’rifat.