Talfiq Dalam Pandangan Ulama
Senin, 27 Juni 2011 17:08:24 WIB
Kategori : Fokus : Waqiuna
TALFIQ DALAM PANDANGAN ULAMA
Oleh
Ustadz Abu Humaid Arif Syarifudin
Dalam bahasa Arab, kata talfiq (‫ل‬‫َّت‬‫ل‬ْ‫ف‬ِ‫ي‬‫ق‬ ُ) berasal dari kata ( َ‫ت‬‫ي‬َْ – ‫ل‬‫ت‬‫ل‬‫ف‬َِْ‫ل‬ – َ‫ل‬َّْ‫ل‬ْ‫ف‬ًَِ) yang berarti
menggabungkan sesuatu dengan yang lain. Misalnya seperti ungkapan ( َ‫ف‬ ‫ف‬‫ق‬‫ي‬‫ت‬ ُ ‫ل‬‫ث‬‫ف‬ْ‫ي‬َْ ) yang artinya,
saya menggabungkan antara kedua ujung baju (pakaian/kain), satu dengan yang lain, lalu
menjahitnya. (Lisanul Arab 10-330-331). Dan pembahasan talfiq yang akan dibahas di sini ialah,
sebagaimana banyak diperbincangkan oleh para ulama ushul dan fuqaha yang menyangkut
masalah bertaklid kepada madzhab-madzhab para imam mujtahid. Kami angkat berdasarkan
kitab Ushul Al Fiqhi Al Islami, karya Dr. Wahbah Az Zuhaili, Juz II, hlm. 1171-1181.
PENGERTIAN TALFIQ
Talfiq, yaitu mendatangkan suatu cara (dalam ibadah atau mu’amalah) yang tidak pernah
dinyatakan oleh ulama mujtahid. Maksudnya, bertaklid kepada madzhab-madzhab serta
mengambil (menggabungkan) dua pendapat atau lebih dalam satu masalah, yang memiliki
rukun-rukun dan cabang-cabang, sehingga memunculkan suatu perkara gabungan (rakitan) yang
tidak pernah dinyatakan oleh seorang pun (dari para imam mujtahid)[1], tidak oleh imam yang
dulu dia ikuti madzhabnya maupun imam ‘barunya’. Justru masing-masing imam tersebut
menetapkan batilnya penggabungan dalam ibadah tersebut.
Contoh, seseorang mentalak tiga terhadap isterinya. Kemudian mantan isterinya menikah dengan
anak laki-laki berusia 9 tahun untuk tujuan tahlil (menghalalkan kembali pernikahan dengan
suaminya yang pertama, Pent.). Dalam hal ini, suami keduanya bertaklid kepada madzhab Asy
Syafi’i yang mengesahkan pernikahan seperti itu, kemudian ia menggauli wanita tersebut dan
lalu menceraikannya dengan bertaklid kepada madzhab Imam Ahmad yang mengesahkan jenis
talak seperti itu dan tanpa melalui masa ‘iddah, sehingga suaminya yang pertama boleh
menikahinya kembali.[2]
Syaikh Ali Ajhuri Asy Syafi’i memberi komentar, bahwa (contoh) seperti itu dilarang pada masa
kami, dan hal itu tidak boleh serta tidak sah untuk diamalkan. Karena menurut madzhab Asy
Syafi’i, disyaratkan yang menikahkan anak kecil harus ayah atau kakeknya, dan harus seorang
yang adil, serta mesti ada kemaslahatan bagi anak tersebut dalam pernikahannya. Kemudian
yang menikahkan si wanita harus walinya yang adil dengan dua saksi yang adil pula. Jika ada
satu syarat tak terpenuhi, maka tidak sah tahlil tersebut, karena pernikahannya tidak sah.
RUANG LINGKUP TALFIQ
Masalah talfiq sama halnya dengan masalah taklid, ruang lingkupnya adalah dalam masalah-
masalah ijtihadi [3] yang bersifat zhanni (bukan merupakan perkara qathi’ atau pasti, Pent.).
Adapun setiap perkara yang ma’lum fiddin bidhdharurah (prinsipil) dalam agama ini, berupa
perkara-perkara yang disandarkan pada hukum syar’i (yang pasti), yang telah disepakati oleh
kaum muslimin dan pengingkarnya dihukumi kafir, maka tidak boleh ada taklid apalagi
membuat talfiq di dalamnya.
Atas dasar itu, maka tidak boleh membuat talfiq yang dapat mengarah kepada pembolehan
(penghalalan) perkara yang diharamkan seperti khamr (miras) dan zina.
HUKUM TALFIQ
Talfiq Yang Diperbolehkan
Dalil bagi pendapat yang menyatakan bahwa talfiq itu dilarang, adalah apa yang dinyatakan oleh
ulama ushul sebagai ijma’ yang melarang memunculkan pendapat ketiga, jika para ulama
berbeda pendapat menjadi dua kelompok mengenai hukum dalam suatu masalah. Jadi,
kebanyakan dari mereka menyatakan tidak boleh memunculkan pendapat ketiga yang dapat
melanggar wilayah kesepakatan.
Misalnya seperti masalah ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya. Dalam
masalah ini ada dua pendapat di kalangan ulama. Pertama, berpendapat bahwa‘iddahnya adalah
(dengan) melahirkan kandungannya. Kedua, berpendapat bahwa ‘iddahnya adalah masa ‘iddah
yang paling jauh dari dua masa ‘iddah [4] . Maka tidak boleh memunculkan pendapat baru –
misalnya- dengan menyatakan bahwa ‘iddahnya adalah hanya dengan hitungan bulan (4 bulan 10
hari) saja.[5]
Untuk mengomentari (menyanggah) klaim kebatilan talfiq ini, bisa melalui dua metoda. 1)
Metode penolakan (al man’u) atau peniadaan (an nafyu), 2) Metode penetapan lawannya
(itsbatul ‘aks).[6]
1. Metode Penolakan atau Peniadaan.
Hal itu jelas, karena talfiq dibangun di atas pemikiran taklid yang ditetapkan oleh ulama
muta`akhirin (generasi akhir) pada masa-masa kemunduran (umat Islam dalam berijtihad, pent.).
Artinya talfiq ini belum dikenal (tidak ada) di kalangan Salaf (pendahulu umat ini), tidak di masa
Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, tidak pula di masa imam-imam (setelah
mereka) dan para muridnya. Adapun di masa Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam , maka tidak
ada praktek talfiq sama sekali, karena masa itu merupakan era penyampaian wahyu yang tidak
memungkinkan adanya ijtihad.
Demikian pula di masa sahabat dan tabi’in, tidak dikenal adanya talfiq di tengah-tengah mereka.
Yang ada hanyalah seseorang bertanya kepada ulama yang disukainya dari kalangan sahabat dan
tabi’in, lalu ia (yang ditanya) memberi fatwa kepadanya tanpa mengharuskan berpegang dengan
fatwanya, dan juga tanpa melarang orang (penanya) tersebut dari mengamalkan fatwa selainnya,
padahal ia mengetahui adanya perbedaan pendapat yang banyak di antara mereka.
Begitu juga di masa para empat imam atau ulama lainnya yang sudah masuk kategori ulama
mujtahid, tidak ada nukilan dari mereka tentang larangan beramal dengan madzhab selainnya.
Bahkan masing-masing saling mengikuti di belakang ulama yang lain, padahal setiap dari
mereka mengetahui perbedaan pendapatnya dengan yang lain dalam masalah ijtihadi yang
bersifat zhanni (tidak pasti). Maka hal ini menunjukkan bahwa –dahulu- orang yang meminta
fatwa, mengambil pendapat-pendapat para ulama dalam dua masalah atau lebih, dan tidak
dikatakan bahwa dia telah melakukan talfiq, atau telah sampai pada suatu kondisi yang tidak
pernah disebutkan oleh para pemberi fatwa. Hal itu hanyalah terhitung sebagai bentuk saling
bercampurnya pendapat-pendapat para pemberi fatwa tersebut pada diri orang yang meminta
fatwa tadi tanpa ada kesengajaan (untuk mencampuradukkan antara pendapat satu dengan yang
lain). Sama halnya dengan saling bercampurnya bahasa-bahasa antara satu dengan yang lain
dalam bahasa Arab, misalnya.
Dan selebihnya, pendapat mereka yang melarang perbuatan talfiq, dapat mengarah kepada
larangan bertaklid, yang pada dasarnya mereka sendiri mewajibkan taklid tersebut bagi orang-
orang awam[7], meskipun kebanyakan taklid itu bukan merupakan bentuk talfiq. Dan hal ini
bertentangan dengan prinsip yang berbunyi perbedaan pendapat para imam adalah rahmat bagi
umat [8] . Juga bertentangan dengan prinsip kemudahan dan kelonggaran serta menghilangkan
perkara yang memberatkan dan kondisi yang menyulitkan, yang merupakan asas bangunan
syari’at Islam.
2. Metode Penetapan Lawannya (Itsbatul ‘Aks).
Dengan anggapan membenarkan dan menerima pendapat yang melarang talfiq, maka tampaklah
dari ketetapan para ulama itu, bahwa tidaklah ada keharusan berpegang kepada madzhab tertentu
dalam seluruh permasalahan, sebagaimana telah dijelaskan. Dan seseorang yang tidak berpegang
kepada madzhab tertentu, maka dibolehkan melakukan talfiq. Jika tidak demikian, maka akan
mengakibatkan kesimpulan pembatalan peribadahan orang-orang awam, karena –pada
kenyataannya- kita hampir tidak mendapati seorang yang awam mengerjakan suatu ibadah yang
benar-benar sesuai dengan madzhab tertentu. Adapun persyaratan yang mereka sebutkan tentang
keharusan memperhatikan perbedaan dalam lintas madzhab, bila seseorang bertaqlid kepada satu
madzhab atau meninggalkan madzhabnya –yang terdahulu- dalam suatu masalah, maka hal ini
perkara yang menyulitkan, baik dalam masalah-masalah ibadah maupun mu’amalah. Karena hal
itu bertentangan dengan prinsip kelonggaran dan kemudahan syari’at serta kecocokakannya
dengan seluruh kemaslahatan manusia
Contohnya, seseorang yang berwudhu dan mengusap kepalanya –dengan bertaqlid kepada
madzhab Imam Asy Syafi’i- maka wudhunya sah. Kemudian, apabila dia menyentuh
kemaluannya setelah itu dengan bertaklid kepada madzhab Abu Hanifah, maka shalatnya sah.
Karena wudhunya orang yang bertaklid ini sah menurut kesepakatan, hal itu disebabkan bahwa
menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu menurut Abu Hanifah. Dan seperti ini tidak
dikatakan bahwa wudhunya tidak sah karena dianggap batal oleh masing-masing dari dua
madzhab tersebut; karena dua masalah tersebut terpisah (antara satu dengan yang lain). Wudhu
tersebut awalnya telah sempurna dengan bertaklid kepada madzhab Asy Syafi’i, sampai
kemudian menyentuh kemaluannya dan dia meneruskan (tetap dalam keadaan memiliki wudhu)
dengan bertaklid kepada madzhab Abu Hanifah. Maka taklid kepada madzhab Abu Hanifah
hanyalah sekedar melanjutkan apa yang sudah sah, bukan pada permulaan ibadah.
Adapun klaim sebagian pengikut madzhab Hanafi [9], bahwa telah ada ijma’ yang melarang
melakukan talfiq, maka bisa jadi cuma ditinjau dari kesepakatan para pengikut madzhab ini saja
(Hanafiah), atau mengacu kepada mayoritas ulama, atau berdasarkan apa yang didengar, atau
cuma prasangka (zhan) saja. Karena, jika masalah tersebut sudah merupakan ijma’, seharusnya
para fuqaha madzhab-madzhab lain pun akan menjelaskan adanya ijma’ tersebut, tidak cukup
hanya dengan diamnya mereka dan kemungkinan saja. Dan tidak ada bukti terkuat yang
menunjukkan secara jelas perihal tidak adanya ijma’ yang melebihi keberadaan penentangan
banyak ulama muta`akhirin terhadapnya (larangan talfiq). [10]
Al Kamal bin Al Hammam dalam At Tahrir –dan diikuti oleh muridnya Ibnu Amir Al Hajj [11]-
menyatakan: “Sesungguhnya seorang (awam) yang bertaklid dibolehkan untuk bertaklid kepada
siapa yang disukainya [12]. Dan jikalau seorang yang awam mengambil pendapat mujtahid yang
paling ringan baginya dalam setiap masalah, maka saya tidak mengetahui ada dalil naqli maupun
aqli yang melarangnya. Dan ketika seseorang (awam) mencari-cari yang paling ringan baginya
dari pendapat seorang mujtahid –yang berhak berijtihad-, saya tidak mengetahui dari unsur
syari’at ini yang mencelanya, sementara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyukai sesuatu
yang meringankan umatnya".
Adapun kalau dua imam tersebut sepakat mengenai batalnya amal pelaku talfiq, maka ini
merupakan pendapat yang tidak didukung oleh hujjah. Karena orang yang bertaklid tersebut
tidaklah bertaklid kepada keduanya dalam keseluruhan amal. Namun hanya bertaklid kepada
salah satu dari dua imam dalam masalah tertentu, yang dalam hal itu, dia tidak bertaklid kepada
yang lain, maka hal seperti ini tidak mengapa. Sedangkan keseluruhan amal tidak ada seorang
pun yang mengharuskan untuk menelitinya, tidak dalam hal ijtihad maupun dalam hal taklid.
Tetapi ini hanya merupakan mengada-adakan satu hukum syari’at dari seseorang yang tidak
berhak untuk mengatakannya.
Ibnu Abidin menyampaikan pernyataannya dalam Tanqih Al Hamidiyah yang intinya, bahwa
dalam angan-angan seorang mufti terdapat petunjuk tentang kebolehan hukum gabungan, dan
Syaikh Ath Thursusi juga membolehkannya, begitu pula ‘Allamah Abu As Su’ud memfatwakan
kebolehannya dalam fatwanya. Demikian juga ketetapan Ibnu Nujaim dalam risalahnya yang
berjudul Fi Bai’il Waqfi Bi Ghabnin Fahisys, bahwa menurutnya pendapat dalam madzhab
adalah kebolehan melakukan talfiq, sebagaimana juga yang dinukil dari Al Fatawa Al Bazaziyah.
Sedangkan Ibnu Arafah Al Maliki membenarkan kebolehannya dalam Al Hasyiah ‘Ala Asy
Syarh Al Kabir. Allamah Al ‘Adawi dan yang lainnya juga memfatwakan kebolehannya, karena
itu merupakan bentuk kelonggaran.[13]
Dan Jumhur ulama –di antaranya sebagian ulama madzhab Syafi’iyah- berpendapat bahwa Ijma’
yang dinukil oleh orang per orang –seperti yang diklaim untuk masalah ini- tidak harus
diamalkan (karena hakikatnya bukan ijma’, Pent.). Apalagi –dalam hal ini- mengklaim adanya
ijma’ dilarang. Karena kenyataannya para ulama terpercaya telah menyebutkan adanya
perbedaan pendapat dalam masalah ini, seperti Al Amir dan Al Baijuri. Dan Asy Syafsyawani
menyinggung tentang penggabungan suatu masalah dari dua madzhab atau lebih dengan berkata:
“Sesungguhnya para ahli ushul berselisih pendapat dalam masalah ini, tetapi yang benar –
menurut penelitian- adalah dibolehkan (melakukan talfiq)".
Kesimpulannya, bahwa agama Allah itu mudah, tidak sulit, dan pendapat yang membolehkan
talfiq termasuk dalam kategori memudahkan manusia (khususnya orang-orang awam, Pent.).
Allah Azza wa Jalla berfirman :
َ‫م‬َ‫ا‬َ‫ج‬ ‫ف‬َ‫ل‬َ ‫ل‬َ ‫ل‬‫ف‬ْ ُ ْ‫ل‬‫ف‬ ‫ف‬ ‫ل‬‫ل‬‫ف‬َََِِّ َََِْ‫ح‬ ‫ل‬ََ ٍَ

Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. [Al Hajj : 78].
‫ل‬ ‫ُِي‬ ‫ل‬ْ ‫ل‬‫لا‬ َ‫ل‬َّْ‫ل‬ََْ ‫ل‬ِّ‫ل‬َ ‫ف‬َ‫ل‬ ‫ف‬‫ُك‬ َ‫ت‬‫ل‬ِ‫ل‬ُ ٍَ ‫ف‬ ‫ل‬‫ل‬‫ف‬َِِ َ‫ا‬‫ل‬‫ف‬ََْ‫ل‬ ‫ف‬ًَِّ
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. [An
Nisa’: 28].
َ‫ا‬‫ف‬ ‫ل‬ْ‫ف‬ ُ ‫ل‬ ‫ل‬‫ل‬‫ل‬ُ ‫ل‬ْ ‫ل‬‫لا‬ ْ ٍَ َ‫ا‬‫ف‬ ‫ل‬َّ‫ف‬ ُ ‫ل‬ ‫ل‬‫ل‬‫ل‬ُ ‫ل‬ ‫ُِي‬ ‫ل‬ْ ‫ل‬‫لا‬
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [Al Baqarah
: 185].
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
((‫ل‬‫ع‬َ‫ث‬‫ف‬‫ت‬‫ي‬ ُ ‫ل‬‫ع‬‫ي‬َّ‫ل‬َّْ‫ل‬َِ‫ث‬‫ف‬ ‫ل‬‫ل‬ُ ‫ل‬‫ث‬‫ف‬‫ت‬‫ل‬ْ‫ل‬ُ))
Aku telah diutus dengan (membawa agama Islam) yang lurus lagi mudah.[14]
Talfiq Yang Dilarang
Kebolehan melakukan talfiq ini tidak bersifat mutlak, tetapi terbatas dalam ruang lingkup
tertentu. Karena ada bentuk talfiq yang serta merta batil menurut bentuknya, seperti bila talfiq
tersebut menjurus kepada penghalalan perkara-perkara yang diharamkan (secara qath’i atau
pasti) seperti khamr (miras), zina dan dll. Dan ada yang dilarang bukan menurut dzatnya, tetapi
karena ada sesuatu yang mencampurinya (sehingga yang asalnya boleh, menjadi terlarang,
Pent.). Jenis kedua ini ada tiga macam.[15]
1. Menyengaja hanya mencari-cari yang paling ringan (tatabbu’ ar rukhash).
Yaitu seseorang mengambil apa yang paling ringan dari setiap madzhab, tanpa ada unsur
keterpaksaan dan udzur kuat. Hal ini terlarang demi menutup jalan-jalan kerusakan berupa usaha
pembebasan diri dari beban-beban syari’at.
Al Ghazali berkata,"Tidak boleh seseorang mengambil madzhab lain dengan seenaknya, dan
seorang awam –juga- tidak boleh memilih yang menurutnya paling enak dari setiap madzhab
dalam setiap masalah, lalu dia memperlebarnya (ke semua masalah dengan tanpa ada
keterpaksaan, Pent.) …… ”. [16] Dan tentunya masuk ke dalam macam ini, yaitu mencari-cari
hukum yang paling ringan dengan seenaknya dan mengambil pendapat yang lemah dari setiap
madzhab demi mengikuti syahwat dan hawa nafsunya.
2. Talfiq yang mengakibatkan penolakan hukum (ketetapan atau keputusan) hakim (pemerintah),
karena ketetapannya dapat menghilangkan perselisihan untuk mengantisipasi terjadinya
kekacauan.
3. Talfiq yang mengakibatkan seseorang meninggalkan apa yang telah diamalkannya secara
taklid, atau meninggalkan perkara yang telah disepakati disebabkan oleh adanya perkara yang
ditaklidinya.
Contoh keadaan pertama. Kalau ada seorang yang faqih (paham tentang agama) berkata kepada
isterinya “Saya mentalakmu selamanya” dan ia berpendapat bahwa -dengan lafadz seperti itu-
telah jatuh talak tiga, maka ia melaksanakan pendapatnya berkaitan antara dirinya dan isterinya
tersebut, dan ia berketetapan bahwa isterinya telah haram baginya. Kemudian setelah itu dia
berpendapat bahwa talaknya tersebut adalah talak raj’i, namun ia tetap melaksanakan
pendapatnya yang pertama yang telah ditetapkan sebelumnya dan tidak mau mengembalikan
isterinya (yang telah ditalaknya) sebagai isterinya lagi dengan pendapat terbarunya itu. Hal ini
terlarang, karena dia masih menyisakan pendapat pertama, sementara itu dia sudah mengambil
pendapat kedua dalam masalah yang sama.
Contoh keadaan kedua. Jika seorang laki-laki bertaklid kepada Imam Abu Hanifah dalam
pendapatnya tentang (sahnya) pernikahan tanpa wali (si wanita)[17], maka ‘aqad (pernikahan)
tersebut meluluskan pengesahan jatuhnya talak, karena hal itu satu konsekuensi sahnya
pernikahan menurut ijma’. Lalu, jika laki-laki tersebut menjatuhkan tiga talak terhadap isterinya,
kemudian dia ingin bertaklid kepada Imam Asy Syafi’i yang berpendapat tidak ada talak yang
jatuh, karena pernikahannya tersebut tanpa wali (yang menurut beliau tidak sah, Pent.) [18],
maka tidak boleh dia melakukan –talfiq- seperti itu, karena dia meninggalkan taklidnya dalam
perkara wajib yang telah disepakati.[19]
Hal itu lebih ditujukan untuk menjaga masalah nasab daripada mempertimbangkan aspek
lainnya. Karena, jika tidak begitu, maka akan menghasilkan konsekuensi bahwa hubungan yang
telah dilakukan (antara keduanya) adalah hubungan haram (zina) dan anak-anak yang dilahirkan
(dari hubungan tersebut) adalah anak-anak zina. Maka harus ditutup setiap pintu yang dapat
mengarahkan kepada upaya rekayasa (tahayul) seperti itu dalam segala masalah yang besar,
seperti masalah pernikahan atau dalam setiap perkara yang menyudutkan agama sebagai obyek
mainan atau merugikan manusia atau kerusakan di atas muka bumi.
Adapun dalam urusan peribadahan dan beban-beban syari’at yang tidak ada kesempitan untuk
para hambaNya, maka tidaklah dilarang melakukan talfiq, walaupun akan mengakibatkan
ditinggalkannya perkara yang telah diamalkan atau ditinggalkannya perkara wajib karena perkara
wajib lainnya berdasarkan ijma’, selama tidak menjurus kepada pembebasan diri dari ikatan
beban-beban syari’at, atau mengarah kepada penghapusan hikmah ditetapkannya syari’at dengan
cara mengikuti setiap hilah (rekayasa) yang dapat merubah atau menghilangkan maksud syari’at.
HUKUM TALFIQ DALAM BEBAN-BEBAN SYARI’AT (TAKALIF ASY SYAR'IYYAH)
Di atas telah dijelaskan bahwa ruang lingkup talfiq hanyalah dalam perkara-perkara furu’
(cabang) yang bersifat zhanni yang dibolehkan terjadi ijtihad, yaitu dalam perkara-perkara yang
memungkinkan terjadi perbedaan pendapat di dalamnya. Adapun berkaitan dengan urusan
aqidah, keimanan dan akhlak serta perkara-perkara yang prinsip agama ini, maka tidak dapat
dimasuki oleh talfiq. Karena tidak boleh ada taklid padanya menurut kesepakatan ulama, juga
bukan termasuk wilayah ijtihad yang akan mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat –yang
menjadi dasar bagi taklid dan talfiq-.
Lantaran talfiq ini sangat mungkin terjadi dalam masalah-masalah furu’, maka harus ada
perincian mengenai hukum masalah-masalah furu’ tersebut. Perkara-perkara furu’ dalam syari’at
terbagi menjadi tiga jenis.[20]
1. Perkara-perkara furu' yang dibangun di atas prinsip kemudahan dan kelapangan dengan
berbagai ragamnya yang disebabkan beragamnya keadaan para mukallaf (orang yang dibebani
syari’at).
2. Perkara-perkara furu' yang dibangun di atas prinsip kehati-hatian dan mencari yang paling
selamat.
3. Perkara-perkara furu' yang berorientasi kemaslahatan dan kebahagiaan para hamba.
Jenis yang pertama, adalah ibadah-ibadah mahdhah. Dibolehkan melakukan talfiq di dalamnya
jika diperlukan, karena dasarnya adalah melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla dan tunduk
kepadaNya dengan tanpa ada unsur kesempitan. Maka tidak boleh terjadi sikap berlebihan dalam
hal ini. Karena sikap berlebihan (melampaui batas) akan menjerumuskan kepada kebinasaan.
Adapun ibadah-ibadah maliyah (dengan harta), maka haruslah diperketat untuk kehati-hatian,
karena dikhawatirkan akan menelantarkan hak kaum fakir miskin. Oleh karena itu, seseorang
yang ingin menunaikan zakat tidak boleh mengambil pendapat yang lemah atau menggabungkan
pendapat dari setiap madzhab yang lebih tidak menjamin keutuhan hak kaum fakir. Dalam
masalah ini, seorang mufti (pemberi fatwa) hendaknya mengeluarkan fatwa yang paling hati-hati
(selamat) dan paling kondusif, dengan tetap mempertimbangkan kondisi orang yang meminta
fatwa (mustafti) dan apakah dia termasuk orang-orang yang punya kepentingan (tertentu
mendesak) atau tidak.
Adapun jenis kedua, yaitu kelompok perkara-perkara yang dilarang, yang bertumpu pada kehati-
hatian (ihtiyath) dan mengambil pendapat yang paling selamat (wara’) [21] (dengan
meninggalkan syubhat) sekuat mungkin. Karena Allah Azza wa Jalla tidaklah melarang sesuatu,
kecuali karena adanya madharat (bahaya). Maka tidak boleh memberi kelonggaran atau
melakukan talfiq dalam hal itu, kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa) menurut kacamata
syari’at. Sebab kondisi darurat (terpaksa) membolehkan (mengambil) yang dilarang. Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
((‫ف‬‫ا‬ُ ‫ل‬ََ ‫ل‬‫ت‬‫ف‬ِ‫ل‬َ ُ‫ق‬‫ل‬ً‫ف‬‫ه‬َ‫ف‬ ‫ل‬‫ت‬‫ل‬ُ ‫ف‬ ‫ل‬‫ل‬‫ل‬ً‫ف‬‫ا‬ًَََ ‫ل‬ََ ٍَ َ‫ل‬ْ‫لق‬‫ك‬‫ل‬َِ‫ق‬‫ف‬‫ح‬‫ل‬َ‫ف‬ ‫ل‬‫ت‬‫ف‬َِِ ‫ف‬ ‫ل‬‫ل‬‫ل‬‫ق‬‫ف‬َََََّ ‫ل‬ََ‫ف‬ ‫ل‬‫ق‬‫ف‬َْ‫م‬َ‫ق‬))
Apa yang kularang hendaklah kalian jauhi (tinggalkan); dan apa yang kuperintahkan, maka
hendaklah kalian kerjakan sekuat kemampuan kalian.[22]
Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengikat perintah dengan tingkat
kemampuan, sementara larangan dimutlakkan (tidak diikat), demi menolak madharat dari
perkara yang dilarang tersebut.
Adapun tidak bolehnya talfiq dalam larangan-larangan itu, karena larangan-larang tersebut
dibangun atas dasar kehati-hatian dan mencari yang paling selamat. Hal itu bersandar kepada
hadits :
َ‫لع‬‫ك‬‫ف‬ ‫ل‬‫ا‬َ َْ ‫ل‬ََ ‫إ‬َ ‫ل‬‫ى‬ َ‫لع‬‫ك‬ ‫ل‬‫ا‬َ ‫ل‬ََ ‫ف‬‫ك‬ََ
Tinggalkanlah apa yang meragukan bagimu menuju apa yang tidak meragukan bagimu.[23]
Adapun larangan-larangan yang berkaitan dengan hak-hak manusia, maka tidak boleh
melakukan talfiq di dalamnya. Karena hal itu berdasarkan asas menjaga hak serta mencegah
gangguan dan menganiaya (orang lain). Maka tidak boleh melakukan talfiq dalam hal tersebut,
karena merupakan bentuk rekayasa tipuan yang bertujuan menentang hak orang dan merugikan
mereka.
Sedangkan jenis ketiga, yaitu jenis mu’amalah (interaksi antara manusia), hukuman pidana
(hudud), menunaikan kewajiban harta dan pernikahan.
Pernikahan dan hukum yang integral dengannya, seperti mufaraqah (pemisahan hubungan antara
suami isteri) itu, landasannya adalah mewujudkan kebahagiaan suami-isteri dan anak-anak. Hal
ini dapat terealisasi dengan menjaga ikatan pernikahan tersebut dan terciptanya kehidupan yang
baik dalam keluarga, sebagaimana yang telah ditetapkan Al Qur`an Al Karim :
َِّ‫ل‬َ ‫ف‬‫ج‬‫ل‬‫ك‬‫ل‬ُ ِ‫م‬ ‫ل‬‫ا‬‫ف‬ ًَ ‫ف‬ًٍَ َ‫ٍت‬‫ل‬‫ا‬‫ف‬َْ‫ت‬‫ل‬ُ ِ‫لإ‬َ ‫ف‬َ‫ل‬‫ك‬َ‫ف‬
Setelah itu, boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
[Al Baqarah : 229].
Jadi, setiap perkara yang mendukung prinsip ini boleh diamalkan, meskipun dalam sebagian
kasus akan menyeret kepada perbuatan talfiq. Hanya saja, hendaknya talfiq tidak dijadikan
sebagai obyek permainan orang dalam urusan-urusan pernikahan dan talak, dengan tetap
memperhatikan kaidah syari’at, yaitu bahwa “hukum asal pernikahan atau perkawinan adalah
haram” [24] (kecuali yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan syari’at, Pent.), demi
menjaga hak-hak kaum wanita dan keturunan. Dan bila hal tersebut (mempermainkan hukum
dalam pernikahan) di atas terjadi, maka talfiq menjadi terlarang.
Adapun masalah mu’amalah, menunaikan kewajiban harta, penegakan hudud (hukum pidana)
dan perlindungan darah (manusia) serta masalah lain yang serupa yang memperhatikan
kemaslahatan dan kebaikan bagi kehidupan manusia, maka wajib mengambil dari setiap
madzhab, pendapat yang paling mengutamakan kemaslahatan dan kebahagiaan manusia,
kendatipun harus melakukan talfiq. Sebab pemilihan pendapat model itu akan mencerminkan
usaha untuk mendukung kemaslahatan yang diinginkan oleh syariat. Ditambah lagi, karena
kemaslahatan-kemaslahatan manusia berubah seiring dengan perubahan zaman, adat kebiasaan
dan perkembangan peradaban mereka. Dan batasan maslahah adalah, setiap perkara yang
menjamin perlindungan terhadap lima prinsip dasar, yaitu penjagaan agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta; serta perlindungan terhadap setiap kebaikan yang dibidik oleh syari’at, baik
melalui Al Qur’an, Sunnah atau Ijma’, yang lebih dikenal dengan mashalih mursalah maqbulah
(yang bisa diterima).
Kesimpulannya, batasan dibolehkan atau tidaknya melakukan talfiq adalah, bahwa setiap perkara
yang dapat mengacaukan landasan-landasan syari’at dan dapat menghancurkan aturan dan
hikmahnya, maka hal itu dilarang, terutama kalau hal itu sekedar hiyal (rekayasa belaka untuk
melepaskan diri dari beban syari’at, Pent.). Sedangkan segala sesuatu yang mendukung landasan,
hikmah dan aturan syari’at untuk membahagiakan manusia di dunia dan akhirat, dengan
memfasilitasi kemudahan kepada mereka dalam urusan peribadahan serta menjamin segala
kemaslahatan untuk mereka dalam urusan mu’amalah (interaksi antara mereka), maka hal itu
dibolehkan, bahkan merupakan tuntutan.
Sebagai tambahan, pemberlakuan talfiq hanya dibolehkan saat dibutuhkan atau dalam kondisi
darurat (terpaksa) saja, bukan bertujuan untuk mempermainkan hukum agama atau mencari-cari
pendapat yang paling mudah dan ringan dengan sengaja tanpa ada maslahah yang dilegalkan
syariat. Dan lagi, itupun terbatas pada sebagian hukum peribadahan dan mu’amalah yang bersifat
ijtihadi (yang dibolehkan terjadinya perbedaan pendapat) dan bukan bersifat qath’i (pasti).
Wallahu A’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-
761016]
_______
Footnote
[1]. Hal itu bila dalam satu masalah seseorang mengamalkan dua pendapat sekaligus atau
mengamalkan salah satunya dengan menyisakan pengaruh pendapat lainya.
[2]. Umdatut Tahqiq, hlm. 101.
[3]. Masalah ijtihadi yaitu masalah yang diperselisihkan, disebabkan oleh perbedaan pemahaman
dan cara pandang terhadap suatu dalil syar’i (dari Al Qur’an maupun Sunnah) yang mengandung
dua kemungkinan makna atau lebih (Pent.)
[4]. Yang terjauh dari dua masa ‘iddah, yakni mana yang paling lama antara waktu 4 bulan 10
hari atau waktu melahirkan kandungan. (Pent.)
[5]. Sebenarnya ada perbedaan antara masalah memunculkan pendapat ketiga dengan masalah
talfiq.
Pertama, karena pembahasan tentang memunculkan pendapat ketiga bisa berlaku bila
masalahnya sama, sedangkan talfiq ada dalam masalah yang berbeda. Kedua, menurut pendapat
yang terpilih, tidak ada kesepakatan dalam masalah talfiq ini. Maka menggosok (anggota tubuh)
dalam wudhu merupakan masalah yang diperselisihkan di antara para imam, dan batalnya wudhu
karena menyentuh wanita merupakan masalah lain. Kedua masalah ini masing-masing
diperselisihkan, maka melakukan talfiq pada keduanya tidak merusak apa yang menjadi
kesepakatan. Jadi, qiyas (analogi) di atas ada perbedaannya (artinya masalah tersebut tidak dapat
diqiyaskan dengan yang lain karena ada perbedaan, Pent.). (Lihat Abhats Al Mu’tamar Al
Awwal Li Majma’ Al Buhuts, hlm. 95).
[6]. Lihat pembahasan ini dalam kitab Umdatut Tahqiq Fi At Taqlid Wat Talfiq, hlm. 92-110,
dengan perubahan.
[7]. Yakni dalam keadaan darurat (terpaksa) tatkala seseorang (terutama yang awam) tidak
mengetahui atau tidak memperoleh hujjah (dalil) dari Al Qur’an atau Sunnah tentang suatu
masalah. (Pent.)
[8]. Hadits yang berbunyi : ِ‫ع‬َ‫ت‬‫ف‬‫ج‬َ‫ف‬ ْ‫ل‬‫ق‬‫ي‬َ‫ل‬ً ‫ل‬‫ت‬َ‫ح‬‫ل‬‫ق‬‫ف‬ُ‫ل‬ُ – “perselisihan umatku adalah rahmat” adalah hadits
palsu dan bahkan tidak memiliki asal dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Lihat Dha’if Al Jami’ (no. 230), karya Syaikh Al Albani ‫ْمحف‬ ُ‫.ْلل‬ Pent).
[9]. Lihat catatan Al Mufti dalam Hasyiyah Ibnu Abidin (1/69 dan setelahnya), serta Al Ihkam Fi
Tamyiz Al Fatawa ‘An Al Ahkam, karya Al Qarafi, hlm. 250 dan setelahnya.
[10]. Lihat Umdatut Tahqiq, hlm. 106 dan setelahnya.
[11]. At Tahrir beserta syarahnya, 3/350 dan berikutnya.
[12]. Hal itu jika ia betul-betul terpaksa karena tidak mengetahui dalil masalah tersebut, Pent.
[13]. Hasyiyah Ad Dasuqi ‘Ala Asy Syarh Al Kabir, 1/20.
[14]. Lafadz penggalan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, dengan banyaknya jalur
periwayatan dan pendukungnya, dalam Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, no. 2924. Silahkan
lihat takhirj hadits ini yang beliau jelaskan. (Pent.)
[15]. Lihat Umdatut Tahqiq, hlm. 121.
[16]. Al Mustashfa (2/125).
[17]. Pendapat Imam Abu Hanifah dalam hal ini lemah, karena bertentangan dengan hadits yang
shahih :
((َ‫ف‬ْ‫ل‬ َ‫ق‬‫ل‬ُ ‫ي‬ْ‫ل‬‫ى‬ َ‫ح‬‫ل‬َ‫ل‬‫ل‬َ َْ))
Tidak sah nikah tanpa wali. (HR Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa-i, Ibnu Majah dan
Al Hakim dari Abu Musa Radhiyallahu 'anhu ; Diriwayatkan pula dari sahabat lain yaitu dari
Ibnu Abbas -‫ِت‬ ِ ‫هللا‬ َْ ‫-َلف‬ Aisyah ‫يضف‬ ُ‫ْلل‬ ‫ُِّْك‬ dan Imran bin Hushain Radhiyallahu 'anhu.
Lihat Shahih Al Jami’ no. 7555, 7556, 7557 dan 7558). (Pent.)
[18]. Karena talak tersebut terjadi bukan secara kebetulan, lalu ia ingin mengikat akad baru
dengan wanita tersebut.
[19]. Yakni bahwa pendapat yang menyatakan bahwa hal ini tidak boleh bukan karena adanya
talfiq saja, tetapi juga karena perihal meninggalkan pendapat yang telah diikuti (dengan taklid)
sebelumnya setelah mengamalkannya dengan masih menyisakan pendapat lamanya tersebut
(padahal dia telah mengambil pendapat lain yang baru).
[20]. Umdatut Tahqiq, hlm. 127 dan berikutnya.
[21]. Wara’ yaitu menahan diri dari perkara-perkara meragukan (syubhat) karena khawatir dan
takut kepada Allah Azza wa Jalla, kemudian digunakan juga untuk menahan diri dari yang hal
mubah.
[22]. Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[23]. HR Tirmidzi dan An Nasa-i dari Al Hasan bin Ali bin Abu Thalib, dan Tirmidzi berkata:
“Hadits hasan shahih.” Lihat Shahih Al Jami’, no. 3377 dan 3378.
[24]. Al Asybah Wa An Nazhair, karya Ibnu Nujaim (1/98 dan berikutnya), Al Asybah oleh As
Suyuthi (67 dan berikutnya). Maksud kaidah tersebut ialah, wanita yang akan dinikahi pada
asalnya diharamkan bagi seorang laki-laki (sampai terjadi pernikahan yang sah, Pent.). Masuk
pula dalam hal ini, setiap cara untuk menikmati wanita (yang diharamkan).
BAHASAN :
 Home
 Adab Dan Perilaku
 Ahkam
 Ahkam : Hudud
 Akhlak
 Aktual
 Aktual : Wahhabi
 Al-Ilmu
 Al-Ilmu : Qawaid Fiqhiyah
 Al-Masaa'il
 Al-Masaa'il : Dialog Pemikiran-1
 Al-Masaa'il : Dialog Pemikiran-2
 Al-Masaa'il : Dialog Pemikiran-3
 Al-Masaa'il : Jihad
 Al-Masaa'il : Politik
 Al-Masaa'il : Propaganda
 Al-Masaa'il : Terorisme
 Al-Qur'an
 Al-Qur'an : Ilmu
 Al-Qur'an : Tafsir
 Alwajiz : Haji & Umrah
 Alwajiz : Hukum & Pidana
 Alwajiz : Jenazah
 Alwajiz : Jual Beli
 Alwajiz : Makanan
 Alwajiz : Nikah
 Alwajiz : Puasa
 Alwajiz : Shalat
 Alwajiz : Shalat Sunnah
 Alwajiz : Sumpah & Jihad
 Alwajiz : Thaharah
 Alwajiz : Wasiat & Waris
 Alwajiz : Zakat
 Bahasan : Aqidah
 Bahasan : Asmaaul Husna
 Bahasan : Assunnah
 Bahasan : Bai'at
 Bahasan : Bid'ah
 Bahasan : Hadits (1)
 Bahasan : Hadits (2)
 Bahasan : Manhaj
 Bahasan : Sirah Nabi
 Bahasan : Syakhshiyah
 Bahasan : Tauhid
 Bahasan : Uswah Nabi
 Dakwah
 Dakwah : Firaq
 Dakwah : Hizbiyyah
 Dakwah : Kepada Kafir
 Dakwah : Nahi Mungkar
 Dakwah : Perpecahan !
 Dakwah : Syubhat
 Fiqih : Bisnis & Riba
 Fiqih : Haji & Umrah
 Fiqih : Hari Raya
 Fiqih : Jenazah & Kematian
 Fiqih : Jual Beli
 Fiqih : Kurban & Aqiqah
 Fiqih : Makanan
 Fiqih : Media
 Fiqih : Nasehat
 Fiqih : Nikah
 Fiqih : Nikah & Talak
 Fiqih : Puasa
 Fiqih : Puasa Sunnah
 Fiqih : Shalat
 Fiqih : Shalat Jum'at
 Fiqih : Sumpah
 Fiqih : Waris & Waqaf
 Fiqih : Zakat
 Fokus : Fatawa
 Fokus : Mabhats
 Fokus : Waqiuna
 Kitab : Al-Ushul Ats-Tsalatsah
 Kitab : Aqidah (Syarah Aqidah ASWJ)
 Kitab : As-Sunnah
 Kitab : Dasar Islam
 Kitab : Hari Kiamat (1)
 Kitab : Hari Kiamat (2)
 Kitab : Kunci Rizki
 Kitab : Manhaj Salaf
 Kitab : Nikah - Sakinah
 Kitab : Nikah Beda Agama?
 Kitab : Nikah Dari A - Z
 Kitab : Puasa Nabi
 Kitab : Qadha & Qadar
 Kitab : Rifqon Ahlus Sunnah
 Kitab : Shalat Tahajjud
 Kitab : Tanya Jawab Al-Qur'an
 Kitab : Tauhid Prioritas Utama
 Risalah : Anak
 Risalah : Do'a & Dzikir
 Risalah : Gambar, Musik
 Risalah : Hukum
 Risalah : Keluarga
 Risalah : Orang Tua
 Risalah : Pakaian, Hiasan
 Risalah : Rizqi & Harta
 Risalah : Sakit, Obat
 Risalah : Sihir, Dukun
 Risalah : Tazkiyah Nufus
 Wanita : Darah Wanita
 Wanita : Fiqih Shalat
 Wanita : Kesehatan
 Wanita : Konsultasi
 Wanita : Muslimah
 Wanita : Thaharah
 Wanita : Wasiat
© COPYLEFT almanhaj.or.id
Seluruh artikel dan tulisan di situs almanhaj.or.id dapat disebarluaskan, dengan mencantumkan
sumbernya dan tetap menjaga keilmiahan

More Related Content

PPTX
Bab 4 pengaruh mazhab syafie dalam perundangan di Malaysia
PPTX
PPTX
Sejarah Perundangan Islam : Zaman Tadwin
PPTX
SEJARAH ZAMAN PERUNDANGAN ISLAM
PPT
Tarikh tasyri' nota sejarah perundangan islam
PPTX
Bab 1 konsep fatwa dalam islam (1)
DOCX
Usul fiqh, nasakh.
PPTX
Bab 2 Fatwa di malaysia: Satu pengenalan
Bab 4 pengaruh mazhab syafie dalam perundangan di Malaysia
Sejarah Perundangan Islam : Zaman Tadwin
SEJARAH ZAMAN PERUNDANGAN ISLAM
Tarikh tasyri' nota sejarah perundangan islam
Bab 1 konsep fatwa dalam islam (1)
Usul fiqh, nasakh.
Bab 2 Fatwa di malaysia: Satu pengenalan

What's hot (20)

PPS
Tasyri' masa nabi Muhammad Saw
PPT
Sebab nuzul
PPTX
Pengertian hadis dan pembahagiannya
PDF
Sunan ibnu majah.present
PDF
Tarikh tasyri
PPS
9. kaidah masyaqqah, al dharar yuzal
PPSX
Pengertian, ruang lingkup fiqh muqaran
PPTX
Pengajian islam zaman uthmaniyyah
PPTX
sejarah pembukuan hadits
DOC
Mustolah hadis
PPTX
Tafsir al quran al-’azim ( Ibnu Katsir )
PPT
Kepentingan Sumber Hukum(Usul Fiqh)
PPS
Presentasi Ushul Fiqh 5 (Quran Sunnah)
PPTX
Majma' al fiqh al-islami
PPS
Presentasi Pengantar Masail Fiqhiyah
PPTX
Muhkam Mutasyabih
PPT
Nota pengajian islam mpw 1143 t3
PPTX
Hadis Hasan dan Hadis sahih - MARSAH
DOCX
Tugasan al fiqh al islami 1 assignment pertama tajuk pilihan konsep ujrah-
PPTX
Hadis masa sahabat
Tasyri' masa nabi Muhammad Saw
Sebab nuzul
Pengertian hadis dan pembahagiannya
Sunan ibnu majah.present
Tarikh tasyri
9. kaidah masyaqqah, al dharar yuzal
Pengertian, ruang lingkup fiqh muqaran
Pengajian islam zaman uthmaniyyah
sejarah pembukuan hadits
Mustolah hadis
Tafsir al quran al-’azim ( Ibnu Katsir )
Kepentingan Sumber Hukum(Usul Fiqh)
Presentasi Ushul Fiqh 5 (Quran Sunnah)
Majma' al fiqh al-islami
Presentasi Pengantar Masail Fiqhiyah
Muhkam Mutasyabih
Nota pengajian islam mpw 1143 t3
Hadis Hasan dan Hadis sahih - MARSAH
Tugasan al fiqh al islami 1 assignment pertama tajuk pilihan konsep ujrah-
Hadis masa sahabat
Ad

Similar to Talfiq dalam pandangan ulama (20)

PDF
ushul fiqih.pdf
DOCX
Makalah ijma' dan qiyas
PDF
Aplikasi Talfiq dalam Resolusi Syariah Majlis Penasihat Syariah Bank Negara M...
PPSX
Tasyri' istilah-istilah fiqh & manhaj 4 imam
PDF
Kaidah mengikuti ulama dalam pengambilan hukum syariah
DOC
Makalah Hukum Shalat Jumat
PDF
Geneologi khilafiyah
PPTX
Istihsan, urf, istishab, marsalah mursalah
PDF
Pendapat yang-wasath-tepat-benar-perihal-fiqhul-waqi-serta-kewajiban-saling-c...
PPSX
Kuliah pengantar fiqh pai 2010
PDF
Sahabat rasulullah-memiliki-manhaj-ilmiyah-yang-teliti-dalam-istidlal-dan-ist...
DOCX
Apa itu mazhab
DOCX
DOCX
Makalah ushul fiqih_kel.1
DOCX
Ijtihad dan Madzhab.docx
PDF
Ijtihad dan Madzhab .pdf
PDF
Memilih pendapat agama
PPT
14451690.pptddddddddddddddddddddddddddddddd
PPTX
masail fiqiyah ala nu bermadzhab umam syafii
RTF
Bahan ajar ushul fiqh
ushul fiqih.pdf
Makalah ijma' dan qiyas
Aplikasi Talfiq dalam Resolusi Syariah Majlis Penasihat Syariah Bank Negara M...
Tasyri' istilah-istilah fiqh & manhaj 4 imam
Kaidah mengikuti ulama dalam pengambilan hukum syariah
Makalah Hukum Shalat Jumat
Geneologi khilafiyah
Istihsan, urf, istishab, marsalah mursalah
Pendapat yang-wasath-tepat-benar-perihal-fiqhul-waqi-serta-kewajiban-saling-c...
Kuliah pengantar fiqh pai 2010
Sahabat rasulullah-memiliki-manhaj-ilmiyah-yang-teliti-dalam-istidlal-dan-ist...
Apa itu mazhab
Makalah ushul fiqih_kel.1
Ijtihad dan Madzhab.docx
Ijtihad dan Madzhab .pdf
Memilih pendapat agama
14451690.pptddddddddddddddddddddddddddddddd
masail fiqiyah ala nu bermadzhab umam syafii
Bahan ajar ushul fiqh
Ad

More from Didik Santoso Iaii Ibrahimy (20)

DOCX
DOCX
Silabus pembelajaran
DOCX
Rencana pelaksanaan pembelajaran
DOC
Rpp aqidah akhlak ma kelas x, 1 2
DOC
Rpp fiqih ma kelas xi, smtr 02
DOC
Silabus fiqih ma kelas xi, 1 2
RTF
Sejarah tradisi pesantren
DOCX
Contoh rpp pai sd kelas 1 kurikulum 2013
DOC
Silabus pai kelas x
DOCX
Contoh rpp pai sd kelas 1 kurikulum 2013
DOCX
Rencana pelaksanaan pembelajaran (rpp)
DOCX
Silabus pai sd kls vi mega anggrek 4 6 juli 2013
DOCX
Rencana pelaksanaan pembelajaran (rpp)
DOCX
Silabus pai sd kls vi mega anggrek 4 6 juli 2013
Silabus pembelajaran
Rencana pelaksanaan pembelajaran
Rpp aqidah akhlak ma kelas x, 1 2
Rpp fiqih ma kelas xi, smtr 02
Silabus fiqih ma kelas xi, 1 2
Sejarah tradisi pesantren
Contoh rpp pai sd kelas 1 kurikulum 2013
Silabus pai kelas x
Contoh rpp pai sd kelas 1 kurikulum 2013
Rencana pelaksanaan pembelajaran (rpp)
Silabus pai sd kls vi mega anggrek 4 6 juli 2013
Rencana pelaksanaan pembelajaran (rpp)
Silabus pai sd kls vi mega anggrek 4 6 juli 2013

Talfiq dalam pandangan ulama

  • 1. Talfiq Dalam Pandangan Ulama Senin, 27 Juni 2011 17:08:24 WIB Kategori : Fokus : Waqiuna TALFIQ DALAM PANDANGAN ULAMA Oleh Ustadz Abu Humaid Arif Syarifudin Dalam bahasa Arab, kata talfiq (‫ل‬‫َّت‬‫ل‬ْ‫ف‬ِ‫ي‬‫ق‬ ُ) berasal dari kata ( َ‫ت‬‫ي‬َْ – ‫ل‬‫ت‬‫ل‬‫ف‬َِْ‫ل‬ – َ‫ل‬َّْ‫ل‬ْ‫ف‬ًَِ) yang berarti menggabungkan sesuatu dengan yang lain. Misalnya seperti ungkapan ( َ‫ف‬ ‫ف‬‫ق‬‫ي‬‫ت‬ ُ ‫ل‬‫ث‬‫ف‬ْ‫ي‬َْ ) yang artinya, saya menggabungkan antara kedua ujung baju (pakaian/kain), satu dengan yang lain, lalu menjahitnya. (Lisanul Arab 10-330-331). Dan pembahasan talfiq yang akan dibahas di sini ialah, sebagaimana banyak diperbincangkan oleh para ulama ushul dan fuqaha yang menyangkut masalah bertaklid kepada madzhab-madzhab para imam mujtahid. Kami angkat berdasarkan kitab Ushul Al Fiqhi Al Islami, karya Dr. Wahbah Az Zuhaili, Juz II, hlm. 1171-1181. PENGERTIAN TALFIQ Talfiq, yaitu mendatangkan suatu cara (dalam ibadah atau mu’amalah) yang tidak pernah dinyatakan oleh ulama mujtahid. Maksudnya, bertaklid kepada madzhab-madzhab serta mengambil (menggabungkan) dua pendapat atau lebih dalam satu masalah, yang memiliki rukun-rukun dan cabang-cabang, sehingga memunculkan suatu perkara gabungan (rakitan) yang tidak pernah dinyatakan oleh seorang pun (dari para imam mujtahid)[1], tidak oleh imam yang dulu dia ikuti madzhabnya maupun imam ‘barunya’. Justru masing-masing imam tersebut menetapkan batilnya penggabungan dalam ibadah tersebut. Contoh, seseorang mentalak tiga terhadap isterinya. Kemudian mantan isterinya menikah dengan anak laki-laki berusia 9 tahun untuk tujuan tahlil (menghalalkan kembali pernikahan dengan suaminya yang pertama, Pent.). Dalam hal ini, suami keduanya bertaklid kepada madzhab Asy Syafi’i yang mengesahkan pernikahan seperti itu, kemudian ia menggauli wanita tersebut dan lalu menceraikannya dengan bertaklid kepada madzhab Imam Ahmad yang mengesahkan jenis talak seperti itu dan tanpa melalui masa ‘iddah, sehingga suaminya yang pertama boleh menikahinya kembali.[2] Syaikh Ali Ajhuri Asy Syafi’i memberi komentar, bahwa (contoh) seperti itu dilarang pada masa kami, dan hal itu tidak boleh serta tidak sah untuk diamalkan. Karena menurut madzhab Asy Syafi’i, disyaratkan yang menikahkan anak kecil harus ayah atau kakeknya, dan harus seorang yang adil, serta mesti ada kemaslahatan bagi anak tersebut dalam pernikahannya. Kemudian yang menikahkan si wanita harus walinya yang adil dengan dua saksi yang adil pula. Jika ada satu syarat tak terpenuhi, maka tidak sah tahlil tersebut, karena pernikahannya tidak sah. RUANG LINGKUP TALFIQ Masalah talfiq sama halnya dengan masalah taklid, ruang lingkupnya adalah dalam masalah- masalah ijtihadi [3] yang bersifat zhanni (bukan merupakan perkara qathi’ atau pasti, Pent.). Adapun setiap perkara yang ma’lum fiddin bidhdharurah (prinsipil) dalam agama ini, berupa
  • 2. perkara-perkara yang disandarkan pada hukum syar’i (yang pasti), yang telah disepakati oleh kaum muslimin dan pengingkarnya dihukumi kafir, maka tidak boleh ada taklid apalagi membuat talfiq di dalamnya. Atas dasar itu, maka tidak boleh membuat talfiq yang dapat mengarah kepada pembolehan (penghalalan) perkara yang diharamkan seperti khamr (miras) dan zina. HUKUM TALFIQ Talfiq Yang Diperbolehkan Dalil bagi pendapat yang menyatakan bahwa talfiq itu dilarang, adalah apa yang dinyatakan oleh ulama ushul sebagai ijma’ yang melarang memunculkan pendapat ketiga, jika para ulama berbeda pendapat menjadi dua kelompok mengenai hukum dalam suatu masalah. Jadi, kebanyakan dari mereka menyatakan tidak boleh memunculkan pendapat ketiga yang dapat melanggar wilayah kesepakatan. Misalnya seperti masalah ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya. Dalam masalah ini ada dua pendapat di kalangan ulama. Pertama, berpendapat bahwa‘iddahnya adalah (dengan) melahirkan kandungannya. Kedua, berpendapat bahwa ‘iddahnya adalah masa ‘iddah yang paling jauh dari dua masa ‘iddah [4] . Maka tidak boleh memunculkan pendapat baru – misalnya- dengan menyatakan bahwa ‘iddahnya adalah hanya dengan hitungan bulan (4 bulan 10 hari) saja.[5] Untuk mengomentari (menyanggah) klaim kebatilan talfiq ini, bisa melalui dua metoda. 1) Metode penolakan (al man’u) atau peniadaan (an nafyu), 2) Metode penetapan lawannya (itsbatul ‘aks).[6] 1. Metode Penolakan atau Peniadaan. Hal itu jelas, karena talfiq dibangun di atas pemikiran taklid yang ditetapkan oleh ulama muta`akhirin (generasi akhir) pada masa-masa kemunduran (umat Islam dalam berijtihad, pent.). Artinya talfiq ini belum dikenal (tidak ada) di kalangan Salaf (pendahulu umat ini), tidak di masa Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, tidak pula di masa imam-imam (setelah mereka) dan para muridnya. Adapun di masa Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam , maka tidak ada praktek talfiq sama sekali, karena masa itu merupakan era penyampaian wahyu yang tidak memungkinkan adanya ijtihad. Demikian pula di masa sahabat dan tabi’in, tidak dikenal adanya talfiq di tengah-tengah mereka. Yang ada hanyalah seseorang bertanya kepada ulama yang disukainya dari kalangan sahabat dan tabi’in, lalu ia (yang ditanya) memberi fatwa kepadanya tanpa mengharuskan berpegang dengan fatwanya, dan juga tanpa melarang orang (penanya) tersebut dari mengamalkan fatwa selainnya, padahal ia mengetahui adanya perbedaan pendapat yang banyak di antara mereka. Begitu juga di masa para empat imam atau ulama lainnya yang sudah masuk kategori ulama mujtahid, tidak ada nukilan dari mereka tentang larangan beramal dengan madzhab selainnya. Bahkan masing-masing saling mengikuti di belakang ulama yang lain, padahal setiap dari mereka mengetahui perbedaan pendapatnya dengan yang lain dalam masalah ijtihadi yang
  • 3. bersifat zhanni (tidak pasti). Maka hal ini menunjukkan bahwa –dahulu- orang yang meminta fatwa, mengambil pendapat-pendapat para ulama dalam dua masalah atau lebih, dan tidak dikatakan bahwa dia telah melakukan talfiq, atau telah sampai pada suatu kondisi yang tidak pernah disebutkan oleh para pemberi fatwa. Hal itu hanyalah terhitung sebagai bentuk saling bercampurnya pendapat-pendapat para pemberi fatwa tersebut pada diri orang yang meminta fatwa tadi tanpa ada kesengajaan (untuk mencampuradukkan antara pendapat satu dengan yang lain). Sama halnya dengan saling bercampurnya bahasa-bahasa antara satu dengan yang lain dalam bahasa Arab, misalnya. Dan selebihnya, pendapat mereka yang melarang perbuatan talfiq, dapat mengarah kepada larangan bertaklid, yang pada dasarnya mereka sendiri mewajibkan taklid tersebut bagi orang- orang awam[7], meskipun kebanyakan taklid itu bukan merupakan bentuk talfiq. Dan hal ini bertentangan dengan prinsip yang berbunyi perbedaan pendapat para imam adalah rahmat bagi umat [8] . Juga bertentangan dengan prinsip kemudahan dan kelonggaran serta menghilangkan perkara yang memberatkan dan kondisi yang menyulitkan, yang merupakan asas bangunan syari’at Islam. 2. Metode Penetapan Lawannya (Itsbatul ‘Aks). Dengan anggapan membenarkan dan menerima pendapat yang melarang talfiq, maka tampaklah dari ketetapan para ulama itu, bahwa tidaklah ada keharusan berpegang kepada madzhab tertentu dalam seluruh permasalahan, sebagaimana telah dijelaskan. Dan seseorang yang tidak berpegang kepada madzhab tertentu, maka dibolehkan melakukan talfiq. Jika tidak demikian, maka akan mengakibatkan kesimpulan pembatalan peribadahan orang-orang awam, karena –pada kenyataannya- kita hampir tidak mendapati seorang yang awam mengerjakan suatu ibadah yang benar-benar sesuai dengan madzhab tertentu. Adapun persyaratan yang mereka sebutkan tentang keharusan memperhatikan perbedaan dalam lintas madzhab, bila seseorang bertaqlid kepada satu madzhab atau meninggalkan madzhabnya –yang terdahulu- dalam suatu masalah, maka hal ini perkara yang menyulitkan, baik dalam masalah-masalah ibadah maupun mu’amalah. Karena hal itu bertentangan dengan prinsip kelonggaran dan kemudahan syari’at serta kecocokakannya dengan seluruh kemaslahatan manusia Contohnya, seseorang yang berwudhu dan mengusap kepalanya –dengan bertaqlid kepada madzhab Imam Asy Syafi’i- maka wudhunya sah. Kemudian, apabila dia menyentuh kemaluannya setelah itu dengan bertaklid kepada madzhab Abu Hanifah, maka shalatnya sah. Karena wudhunya orang yang bertaklid ini sah menurut kesepakatan, hal itu disebabkan bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu menurut Abu Hanifah. Dan seperti ini tidak dikatakan bahwa wudhunya tidak sah karena dianggap batal oleh masing-masing dari dua madzhab tersebut; karena dua masalah tersebut terpisah (antara satu dengan yang lain). Wudhu tersebut awalnya telah sempurna dengan bertaklid kepada madzhab Asy Syafi’i, sampai kemudian menyentuh kemaluannya dan dia meneruskan (tetap dalam keadaan memiliki wudhu) dengan bertaklid kepada madzhab Abu Hanifah. Maka taklid kepada madzhab Abu Hanifah hanyalah sekedar melanjutkan apa yang sudah sah, bukan pada permulaan ibadah. Adapun klaim sebagian pengikut madzhab Hanafi [9], bahwa telah ada ijma’ yang melarang melakukan talfiq, maka bisa jadi cuma ditinjau dari kesepakatan para pengikut madzhab ini saja (Hanafiah), atau mengacu kepada mayoritas ulama, atau berdasarkan apa yang didengar, atau
  • 4. cuma prasangka (zhan) saja. Karena, jika masalah tersebut sudah merupakan ijma’, seharusnya para fuqaha madzhab-madzhab lain pun akan menjelaskan adanya ijma’ tersebut, tidak cukup hanya dengan diamnya mereka dan kemungkinan saja. Dan tidak ada bukti terkuat yang menunjukkan secara jelas perihal tidak adanya ijma’ yang melebihi keberadaan penentangan banyak ulama muta`akhirin terhadapnya (larangan talfiq). [10] Al Kamal bin Al Hammam dalam At Tahrir –dan diikuti oleh muridnya Ibnu Amir Al Hajj [11]- menyatakan: “Sesungguhnya seorang (awam) yang bertaklid dibolehkan untuk bertaklid kepada siapa yang disukainya [12]. Dan jikalau seorang yang awam mengambil pendapat mujtahid yang paling ringan baginya dalam setiap masalah, maka saya tidak mengetahui ada dalil naqli maupun aqli yang melarangnya. Dan ketika seseorang (awam) mencari-cari yang paling ringan baginya dari pendapat seorang mujtahid –yang berhak berijtihad-, saya tidak mengetahui dari unsur syari’at ini yang mencelanya, sementara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyukai sesuatu yang meringankan umatnya". Adapun kalau dua imam tersebut sepakat mengenai batalnya amal pelaku talfiq, maka ini merupakan pendapat yang tidak didukung oleh hujjah. Karena orang yang bertaklid tersebut tidaklah bertaklid kepada keduanya dalam keseluruhan amal. Namun hanya bertaklid kepada salah satu dari dua imam dalam masalah tertentu, yang dalam hal itu, dia tidak bertaklid kepada yang lain, maka hal seperti ini tidak mengapa. Sedangkan keseluruhan amal tidak ada seorang pun yang mengharuskan untuk menelitinya, tidak dalam hal ijtihad maupun dalam hal taklid. Tetapi ini hanya merupakan mengada-adakan satu hukum syari’at dari seseorang yang tidak berhak untuk mengatakannya. Ibnu Abidin menyampaikan pernyataannya dalam Tanqih Al Hamidiyah yang intinya, bahwa dalam angan-angan seorang mufti terdapat petunjuk tentang kebolehan hukum gabungan, dan Syaikh Ath Thursusi juga membolehkannya, begitu pula ‘Allamah Abu As Su’ud memfatwakan kebolehannya dalam fatwanya. Demikian juga ketetapan Ibnu Nujaim dalam risalahnya yang berjudul Fi Bai’il Waqfi Bi Ghabnin Fahisys, bahwa menurutnya pendapat dalam madzhab adalah kebolehan melakukan talfiq, sebagaimana juga yang dinukil dari Al Fatawa Al Bazaziyah. Sedangkan Ibnu Arafah Al Maliki membenarkan kebolehannya dalam Al Hasyiah ‘Ala Asy Syarh Al Kabir. Allamah Al ‘Adawi dan yang lainnya juga memfatwakan kebolehannya, karena itu merupakan bentuk kelonggaran.[13] Dan Jumhur ulama –di antaranya sebagian ulama madzhab Syafi’iyah- berpendapat bahwa Ijma’ yang dinukil oleh orang per orang –seperti yang diklaim untuk masalah ini- tidak harus diamalkan (karena hakikatnya bukan ijma’, Pent.). Apalagi –dalam hal ini- mengklaim adanya ijma’ dilarang. Karena kenyataannya para ulama terpercaya telah menyebutkan adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini, seperti Al Amir dan Al Baijuri. Dan Asy Syafsyawani menyinggung tentang penggabungan suatu masalah dari dua madzhab atau lebih dengan berkata: “Sesungguhnya para ahli ushul berselisih pendapat dalam masalah ini, tetapi yang benar – menurut penelitian- adalah dibolehkan (melakukan talfiq)". Kesimpulannya, bahwa agama Allah itu mudah, tidak sulit, dan pendapat yang membolehkan talfiq termasuk dalam kategori memudahkan manusia (khususnya orang-orang awam, Pent.). Allah Azza wa Jalla berfirman :
  • 5. َ‫م‬َ‫ا‬َ‫ج‬ ‫ف‬َ‫ل‬َ ‫ل‬َ ‫ل‬‫ف‬ْ ُ ْ‫ل‬‫ف‬ ‫ف‬ ‫ل‬‫ل‬‫ف‬َََِِّ َََِْ‫ح‬ ‫ل‬ََ ٍَ  Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. [Al Hajj : 78]. ‫ل‬ ‫ُِي‬ ‫ل‬ْ ‫ل‬‫لا‬ َ‫ل‬َّْ‫ل‬ََْ ‫ل‬ِّ‫ل‬َ ‫ف‬َ‫ل‬ ‫ف‬‫ُك‬ َ‫ت‬‫ل‬ِ‫ل‬ُ ٍَ ‫ف‬ ‫ل‬‫ل‬‫ف‬َِِ َ‫ا‬‫ل‬‫ف‬ََْ‫ل‬ ‫ف‬ًَِّ Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. [An Nisa’: 28]. َ‫ا‬‫ف‬ ‫ل‬ْ‫ف‬ ُ ‫ل‬ ‫ل‬‫ل‬‫ل‬ُ ‫ل‬ْ ‫ل‬‫لا‬ ْ ٍَ َ‫ا‬‫ف‬ ‫ل‬َّ‫ف‬ ُ ‫ل‬ ‫ل‬‫ل‬‫ل‬ُ ‫ل‬ ‫ُِي‬ ‫ل‬ْ ‫ل‬‫لا‬ Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [Al Baqarah : 185]. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ((‫ل‬‫ع‬َ‫ث‬‫ف‬‫ت‬‫ي‬ ُ ‫ل‬‫ع‬‫ي‬َّ‫ل‬َّْ‫ل‬َِ‫ث‬‫ف‬ ‫ل‬‫ل‬ُ ‫ل‬‫ث‬‫ف‬‫ت‬‫ل‬ْ‫ل‬ُ)) Aku telah diutus dengan (membawa agama Islam) yang lurus lagi mudah.[14] Talfiq Yang Dilarang Kebolehan melakukan talfiq ini tidak bersifat mutlak, tetapi terbatas dalam ruang lingkup tertentu. Karena ada bentuk talfiq yang serta merta batil menurut bentuknya, seperti bila talfiq tersebut menjurus kepada penghalalan perkara-perkara yang diharamkan (secara qath’i atau pasti) seperti khamr (miras), zina dan dll. Dan ada yang dilarang bukan menurut dzatnya, tetapi karena ada sesuatu yang mencampurinya (sehingga yang asalnya boleh, menjadi terlarang, Pent.). Jenis kedua ini ada tiga macam.[15] 1. Menyengaja hanya mencari-cari yang paling ringan (tatabbu’ ar rukhash). Yaitu seseorang mengambil apa yang paling ringan dari setiap madzhab, tanpa ada unsur keterpaksaan dan udzur kuat. Hal ini terlarang demi menutup jalan-jalan kerusakan berupa usaha pembebasan diri dari beban-beban syari’at. Al Ghazali berkata,"Tidak boleh seseorang mengambil madzhab lain dengan seenaknya, dan seorang awam –juga- tidak boleh memilih yang menurutnya paling enak dari setiap madzhab dalam setiap masalah, lalu dia memperlebarnya (ke semua masalah dengan tanpa ada keterpaksaan, Pent.) …… ”. [16] Dan tentunya masuk ke dalam macam ini, yaitu mencari-cari hukum yang paling ringan dengan seenaknya dan mengambil pendapat yang lemah dari setiap madzhab demi mengikuti syahwat dan hawa nafsunya. 2. Talfiq yang mengakibatkan penolakan hukum (ketetapan atau keputusan) hakim (pemerintah), karena ketetapannya dapat menghilangkan perselisihan untuk mengantisipasi terjadinya kekacauan. 3. Talfiq yang mengakibatkan seseorang meninggalkan apa yang telah diamalkannya secara
  • 6. taklid, atau meninggalkan perkara yang telah disepakati disebabkan oleh adanya perkara yang ditaklidinya. Contoh keadaan pertama. Kalau ada seorang yang faqih (paham tentang agama) berkata kepada isterinya “Saya mentalakmu selamanya” dan ia berpendapat bahwa -dengan lafadz seperti itu- telah jatuh talak tiga, maka ia melaksanakan pendapatnya berkaitan antara dirinya dan isterinya tersebut, dan ia berketetapan bahwa isterinya telah haram baginya. Kemudian setelah itu dia berpendapat bahwa talaknya tersebut adalah talak raj’i, namun ia tetap melaksanakan pendapatnya yang pertama yang telah ditetapkan sebelumnya dan tidak mau mengembalikan isterinya (yang telah ditalaknya) sebagai isterinya lagi dengan pendapat terbarunya itu. Hal ini terlarang, karena dia masih menyisakan pendapat pertama, sementara itu dia sudah mengambil pendapat kedua dalam masalah yang sama. Contoh keadaan kedua. Jika seorang laki-laki bertaklid kepada Imam Abu Hanifah dalam pendapatnya tentang (sahnya) pernikahan tanpa wali (si wanita)[17], maka ‘aqad (pernikahan) tersebut meluluskan pengesahan jatuhnya talak, karena hal itu satu konsekuensi sahnya pernikahan menurut ijma’. Lalu, jika laki-laki tersebut menjatuhkan tiga talak terhadap isterinya, kemudian dia ingin bertaklid kepada Imam Asy Syafi’i yang berpendapat tidak ada talak yang jatuh, karena pernikahannya tersebut tanpa wali (yang menurut beliau tidak sah, Pent.) [18], maka tidak boleh dia melakukan –talfiq- seperti itu, karena dia meninggalkan taklidnya dalam perkara wajib yang telah disepakati.[19] Hal itu lebih ditujukan untuk menjaga masalah nasab daripada mempertimbangkan aspek lainnya. Karena, jika tidak begitu, maka akan menghasilkan konsekuensi bahwa hubungan yang telah dilakukan (antara keduanya) adalah hubungan haram (zina) dan anak-anak yang dilahirkan (dari hubungan tersebut) adalah anak-anak zina. Maka harus ditutup setiap pintu yang dapat mengarahkan kepada upaya rekayasa (tahayul) seperti itu dalam segala masalah yang besar, seperti masalah pernikahan atau dalam setiap perkara yang menyudutkan agama sebagai obyek mainan atau merugikan manusia atau kerusakan di atas muka bumi. Adapun dalam urusan peribadahan dan beban-beban syari’at yang tidak ada kesempitan untuk para hambaNya, maka tidaklah dilarang melakukan talfiq, walaupun akan mengakibatkan ditinggalkannya perkara yang telah diamalkan atau ditinggalkannya perkara wajib karena perkara wajib lainnya berdasarkan ijma’, selama tidak menjurus kepada pembebasan diri dari ikatan beban-beban syari’at, atau mengarah kepada penghapusan hikmah ditetapkannya syari’at dengan cara mengikuti setiap hilah (rekayasa) yang dapat merubah atau menghilangkan maksud syari’at. HUKUM TALFIQ DALAM BEBAN-BEBAN SYARI’AT (TAKALIF ASY SYAR'IYYAH) Di atas telah dijelaskan bahwa ruang lingkup talfiq hanyalah dalam perkara-perkara furu’ (cabang) yang bersifat zhanni yang dibolehkan terjadi ijtihad, yaitu dalam perkara-perkara yang memungkinkan terjadi perbedaan pendapat di dalamnya. Adapun berkaitan dengan urusan aqidah, keimanan dan akhlak serta perkara-perkara yang prinsip agama ini, maka tidak dapat dimasuki oleh talfiq. Karena tidak boleh ada taklid padanya menurut kesepakatan ulama, juga bukan termasuk wilayah ijtihad yang akan mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat –yang menjadi dasar bagi taklid dan talfiq-.
  • 7. Lantaran talfiq ini sangat mungkin terjadi dalam masalah-masalah furu’, maka harus ada perincian mengenai hukum masalah-masalah furu’ tersebut. Perkara-perkara furu’ dalam syari’at terbagi menjadi tiga jenis.[20] 1. Perkara-perkara furu' yang dibangun di atas prinsip kemudahan dan kelapangan dengan berbagai ragamnya yang disebabkan beragamnya keadaan para mukallaf (orang yang dibebani syari’at). 2. Perkara-perkara furu' yang dibangun di atas prinsip kehati-hatian dan mencari yang paling selamat. 3. Perkara-perkara furu' yang berorientasi kemaslahatan dan kebahagiaan para hamba. Jenis yang pertama, adalah ibadah-ibadah mahdhah. Dibolehkan melakukan talfiq di dalamnya jika diperlukan, karena dasarnya adalah melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla dan tunduk kepadaNya dengan tanpa ada unsur kesempitan. Maka tidak boleh terjadi sikap berlebihan dalam hal ini. Karena sikap berlebihan (melampaui batas) akan menjerumuskan kepada kebinasaan. Adapun ibadah-ibadah maliyah (dengan harta), maka haruslah diperketat untuk kehati-hatian, karena dikhawatirkan akan menelantarkan hak kaum fakir miskin. Oleh karena itu, seseorang yang ingin menunaikan zakat tidak boleh mengambil pendapat yang lemah atau menggabungkan pendapat dari setiap madzhab yang lebih tidak menjamin keutuhan hak kaum fakir. Dalam masalah ini, seorang mufti (pemberi fatwa) hendaknya mengeluarkan fatwa yang paling hati-hati (selamat) dan paling kondusif, dengan tetap mempertimbangkan kondisi orang yang meminta fatwa (mustafti) dan apakah dia termasuk orang-orang yang punya kepentingan (tertentu mendesak) atau tidak. Adapun jenis kedua, yaitu kelompok perkara-perkara yang dilarang, yang bertumpu pada kehati- hatian (ihtiyath) dan mengambil pendapat yang paling selamat (wara’) [21] (dengan meninggalkan syubhat) sekuat mungkin. Karena Allah Azza wa Jalla tidaklah melarang sesuatu, kecuali karena adanya madharat (bahaya). Maka tidak boleh memberi kelonggaran atau melakukan talfiq dalam hal itu, kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa) menurut kacamata syari’at. Sebab kondisi darurat (terpaksa) membolehkan (mengambil) yang dilarang. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ((‫ف‬‫ا‬ُ ‫ل‬ََ ‫ل‬‫ت‬‫ف‬ِ‫ل‬َ ُ‫ق‬‫ل‬ً‫ف‬‫ه‬َ‫ف‬ ‫ل‬‫ت‬‫ل‬ُ ‫ف‬ ‫ل‬‫ل‬‫ل‬ً‫ف‬‫ا‬ًَََ ‫ل‬ََ ٍَ َ‫ل‬ْ‫لق‬‫ك‬‫ل‬َِ‫ق‬‫ف‬‫ح‬‫ل‬َ‫ف‬ ‫ل‬‫ت‬‫ف‬َِِ ‫ف‬ ‫ل‬‫ل‬‫ل‬‫ق‬‫ف‬َََََّ ‫ل‬ََ‫ف‬ ‫ل‬‫ق‬‫ف‬َْ‫م‬َ‫ق‬)) Apa yang kularang hendaklah kalian jauhi (tinggalkan); dan apa yang kuperintahkan, maka hendaklah kalian kerjakan sekuat kemampuan kalian.[22] Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengikat perintah dengan tingkat kemampuan, sementara larangan dimutlakkan (tidak diikat), demi menolak madharat dari perkara yang dilarang tersebut. Adapun tidak bolehnya talfiq dalam larangan-larangan itu, karena larangan-larang tersebut dibangun atas dasar kehati-hatian dan mencari yang paling selamat. Hal itu bersandar kepada hadits :
  • 8. َ‫لع‬‫ك‬‫ف‬ ‫ل‬‫ا‬َ َْ ‫ل‬ََ ‫إ‬َ ‫ل‬‫ى‬ َ‫لع‬‫ك‬ ‫ل‬‫ا‬َ ‫ل‬ََ ‫ف‬‫ك‬ََ Tinggalkanlah apa yang meragukan bagimu menuju apa yang tidak meragukan bagimu.[23] Adapun larangan-larangan yang berkaitan dengan hak-hak manusia, maka tidak boleh melakukan talfiq di dalamnya. Karena hal itu berdasarkan asas menjaga hak serta mencegah gangguan dan menganiaya (orang lain). Maka tidak boleh melakukan talfiq dalam hal tersebut, karena merupakan bentuk rekayasa tipuan yang bertujuan menentang hak orang dan merugikan mereka. Sedangkan jenis ketiga, yaitu jenis mu’amalah (interaksi antara manusia), hukuman pidana (hudud), menunaikan kewajiban harta dan pernikahan. Pernikahan dan hukum yang integral dengannya, seperti mufaraqah (pemisahan hubungan antara suami isteri) itu, landasannya adalah mewujudkan kebahagiaan suami-isteri dan anak-anak. Hal ini dapat terealisasi dengan menjaga ikatan pernikahan tersebut dan terciptanya kehidupan yang baik dalam keluarga, sebagaimana yang telah ditetapkan Al Qur`an Al Karim : َِّ‫ل‬َ ‫ف‬‫ج‬‫ل‬‫ك‬‫ل‬ُ ِ‫م‬ ‫ل‬‫ا‬‫ف‬ ًَ ‫ف‬ًٍَ َ‫ٍت‬‫ل‬‫ا‬‫ف‬َْ‫ت‬‫ل‬ُ ِ‫لإ‬َ ‫ف‬َ‫ل‬‫ك‬َ‫ف‬ Setelah itu, boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. [Al Baqarah : 229]. Jadi, setiap perkara yang mendukung prinsip ini boleh diamalkan, meskipun dalam sebagian kasus akan menyeret kepada perbuatan talfiq. Hanya saja, hendaknya talfiq tidak dijadikan sebagai obyek permainan orang dalam urusan-urusan pernikahan dan talak, dengan tetap memperhatikan kaidah syari’at, yaitu bahwa “hukum asal pernikahan atau perkawinan adalah haram” [24] (kecuali yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan syari’at, Pent.), demi menjaga hak-hak kaum wanita dan keturunan. Dan bila hal tersebut (mempermainkan hukum dalam pernikahan) di atas terjadi, maka talfiq menjadi terlarang. Adapun masalah mu’amalah, menunaikan kewajiban harta, penegakan hudud (hukum pidana) dan perlindungan darah (manusia) serta masalah lain yang serupa yang memperhatikan kemaslahatan dan kebaikan bagi kehidupan manusia, maka wajib mengambil dari setiap madzhab, pendapat yang paling mengutamakan kemaslahatan dan kebahagiaan manusia, kendatipun harus melakukan talfiq. Sebab pemilihan pendapat model itu akan mencerminkan usaha untuk mendukung kemaslahatan yang diinginkan oleh syariat. Ditambah lagi, karena kemaslahatan-kemaslahatan manusia berubah seiring dengan perubahan zaman, adat kebiasaan dan perkembangan peradaban mereka. Dan batasan maslahah adalah, setiap perkara yang menjamin perlindungan terhadap lima prinsip dasar, yaitu penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta; serta perlindungan terhadap setiap kebaikan yang dibidik oleh syari’at, baik melalui Al Qur’an, Sunnah atau Ijma’, yang lebih dikenal dengan mashalih mursalah maqbulah (yang bisa diterima). Kesimpulannya, batasan dibolehkan atau tidaknya melakukan talfiq adalah, bahwa setiap perkara yang dapat mengacaukan landasan-landasan syari’at dan dapat menghancurkan aturan dan
  • 9. hikmahnya, maka hal itu dilarang, terutama kalau hal itu sekedar hiyal (rekayasa belaka untuk melepaskan diri dari beban syari’at, Pent.). Sedangkan segala sesuatu yang mendukung landasan, hikmah dan aturan syari’at untuk membahagiakan manusia di dunia dan akhirat, dengan memfasilitasi kemudahan kepada mereka dalam urusan peribadahan serta menjamin segala kemaslahatan untuk mereka dalam urusan mu’amalah (interaksi antara mereka), maka hal itu dibolehkan, bahkan merupakan tuntutan. Sebagai tambahan, pemberlakuan talfiq hanya dibolehkan saat dibutuhkan atau dalam kondisi darurat (terpaksa) saja, bukan bertujuan untuk mempermainkan hukum agama atau mencari-cari pendapat yang paling mudah dan ringan dengan sengaja tanpa ada maslahah yang dilegalkan syariat. Dan lagi, itupun terbatas pada sebagian hukum peribadahan dan mu’amalah yang bersifat ijtihadi (yang dibolehkan terjadinya perbedaan pendapat) dan bukan bersifat qath’i (pasti). Wallahu A’lam. [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271- 761016] _______ Footnote [1]. Hal itu bila dalam satu masalah seseorang mengamalkan dua pendapat sekaligus atau mengamalkan salah satunya dengan menyisakan pengaruh pendapat lainya. [2]. Umdatut Tahqiq, hlm. 101. [3]. Masalah ijtihadi yaitu masalah yang diperselisihkan, disebabkan oleh perbedaan pemahaman dan cara pandang terhadap suatu dalil syar’i (dari Al Qur’an maupun Sunnah) yang mengandung dua kemungkinan makna atau lebih (Pent.) [4]. Yang terjauh dari dua masa ‘iddah, yakni mana yang paling lama antara waktu 4 bulan 10 hari atau waktu melahirkan kandungan. (Pent.) [5]. Sebenarnya ada perbedaan antara masalah memunculkan pendapat ketiga dengan masalah talfiq. Pertama, karena pembahasan tentang memunculkan pendapat ketiga bisa berlaku bila masalahnya sama, sedangkan talfiq ada dalam masalah yang berbeda. Kedua, menurut pendapat yang terpilih, tidak ada kesepakatan dalam masalah talfiq ini. Maka menggosok (anggota tubuh) dalam wudhu merupakan masalah yang diperselisihkan di antara para imam, dan batalnya wudhu karena menyentuh wanita merupakan masalah lain. Kedua masalah ini masing-masing diperselisihkan, maka melakukan talfiq pada keduanya tidak merusak apa yang menjadi kesepakatan. Jadi, qiyas (analogi) di atas ada perbedaannya (artinya masalah tersebut tidak dapat diqiyaskan dengan yang lain karena ada perbedaan, Pent.). (Lihat Abhats Al Mu’tamar Al Awwal Li Majma’ Al Buhuts, hlm. 95). [6]. Lihat pembahasan ini dalam kitab Umdatut Tahqiq Fi At Taqlid Wat Talfiq, hlm. 92-110, dengan perubahan. [7]. Yakni dalam keadaan darurat (terpaksa) tatkala seseorang (terutama yang awam) tidak mengetahui atau tidak memperoleh hujjah (dalil) dari Al Qur’an atau Sunnah tentang suatu masalah. (Pent.) [8]. Hadits yang berbunyi : ِ‫ع‬َ‫ت‬‫ف‬‫ج‬َ‫ف‬ ْ‫ل‬‫ق‬‫ي‬َ‫ل‬ً ‫ل‬‫ت‬َ‫ح‬‫ل‬‫ق‬‫ف‬ُ‫ل‬ُ – “perselisihan umatku adalah rahmat” adalah hadits palsu dan bahkan tidak memiliki asal dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lihat Dha’if Al Jami’ (no. 230), karya Syaikh Al Albani ‫ْمحف‬ ُ‫.ْلل‬ Pent).
  • 10. [9]. Lihat catatan Al Mufti dalam Hasyiyah Ibnu Abidin (1/69 dan setelahnya), serta Al Ihkam Fi Tamyiz Al Fatawa ‘An Al Ahkam, karya Al Qarafi, hlm. 250 dan setelahnya. [10]. Lihat Umdatut Tahqiq, hlm. 106 dan setelahnya. [11]. At Tahrir beserta syarahnya, 3/350 dan berikutnya. [12]. Hal itu jika ia betul-betul terpaksa karena tidak mengetahui dalil masalah tersebut, Pent. [13]. Hasyiyah Ad Dasuqi ‘Ala Asy Syarh Al Kabir, 1/20. [14]. Lafadz penggalan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, dengan banyaknya jalur periwayatan dan pendukungnya, dalam Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, no. 2924. Silahkan lihat takhirj hadits ini yang beliau jelaskan. (Pent.) [15]. Lihat Umdatut Tahqiq, hlm. 121. [16]. Al Mustashfa (2/125). [17]. Pendapat Imam Abu Hanifah dalam hal ini lemah, karena bertentangan dengan hadits yang shahih : ((َ‫ف‬ْ‫ل‬ َ‫ق‬‫ل‬ُ ‫ي‬ْ‫ل‬‫ى‬ َ‫ح‬‫ل‬َ‫ل‬‫ل‬َ َْ)) Tidak sah nikah tanpa wali. (HR Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa-i, Ibnu Majah dan Al Hakim dari Abu Musa Radhiyallahu 'anhu ; Diriwayatkan pula dari sahabat lain yaitu dari Ibnu Abbas -‫ِت‬ ِ ‫هللا‬ َْ ‫-َلف‬ Aisyah ‫يضف‬ ُ‫ْلل‬ ‫ُِّْك‬ dan Imran bin Hushain Radhiyallahu 'anhu. Lihat Shahih Al Jami’ no. 7555, 7556, 7557 dan 7558). (Pent.) [18]. Karena talak tersebut terjadi bukan secara kebetulan, lalu ia ingin mengikat akad baru dengan wanita tersebut. [19]. Yakni bahwa pendapat yang menyatakan bahwa hal ini tidak boleh bukan karena adanya talfiq saja, tetapi juga karena perihal meninggalkan pendapat yang telah diikuti (dengan taklid) sebelumnya setelah mengamalkannya dengan masih menyisakan pendapat lamanya tersebut (padahal dia telah mengambil pendapat lain yang baru). [20]. Umdatut Tahqiq, hlm. 127 dan berikutnya. [21]. Wara’ yaitu menahan diri dari perkara-perkara meragukan (syubhat) karena khawatir dan takut kepada Allah Azza wa Jalla, kemudian digunakan juga untuk menahan diri dari yang hal mubah. [22]. Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. [23]. HR Tirmidzi dan An Nasa-i dari Al Hasan bin Ali bin Abu Thalib, dan Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Lihat Shahih Al Jami’, no. 3377 dan 3378. [24]. Al Asybah Wa An Nazhair, karya Ibnu Nujaim (1/98 dan berikutnya), Al Asybah oleh As Suyuthi (67 dan berikutnya). Maksud kaidah tersebut ialah, wanita yang akan dinikahi pada asalnya diharamkan bagi seorang laki-laki (sampai terjadi pernikahan yang sah, Pent.). Masuk pula dalam hal ini, setiap cara untuk menikmati wanita (yang diharamkan). BAHASAN :  Home  Adab Dan Perilaku  Ahkam  Ahkam : Hudud  Akhlak  Aktual  Aktual : Wahhabi
  • 11.  Al-Ilmu  Al-Ilmu : Qawaid Fiqhiyah  Al-Masaa'il  Al-Masaa'il : Dialog Pemikiran-1  Al-Masaa'il : Dialog Pemikiran-2  Al-Masaa'il : Dialog Pemikiran-3  Al-Masaa'il : Jihad  Al-Masaa'il : Politik  Al-Masaa'il : Propaganda  Al-Masaa'il : Terorisme  Al-Qur'an  Al-Qur'an : Ilmu  Al-Qur'an : Tafsir  Alwajiz : Haji & Umrah  Alwajiz : Hukum & Pidana  Alwajiz : Jenazah  Alwajiz : Jual Beli  Alwajiz : Makanan  Alwajiz : Nikah  Alwajiz : Puasa  Alwajiz : Shalat  Alwajiz : Shalat Sunnah  Alwajiz : Sumpah & Jihad  Alwajiz : Thaharah  Alwajiz : Wasiat & Waris  Alwajiz : Zakat  Bahasan : Aqidah  Bahasan : Asmaaul Husna  Bahasan : Assunnah  Bahasan : Bai'at  Bahasan : Bid'ah  Bahasan : Hadits (1)  Bahasan : Hadits (2)  Bahasan : Manhaj  Bahasan : Sirah Nabi  Bahasan : Syakhshiyah  Bahasan : Tauhid  Bahasan : Uswah Nabi  Dakwah  Dakwah : Firaq  Dakwah : Hizbiyyah  Dakwah : Kepada Kafir  Dakwah : Nahi Mungkar  Dakwah : Perpecahan !  Dakwah : Syubhat  Fiqih : Bisnis & Riba
  • 12.  Fiqih : Haji & Umrah  Fiqih : Hari Raya  Fiqih : Jenazah & Kematian  Fiqih : Jual Beli  Fiqih : Kurban & Aqiqah  Fiqih : Makanan  Fiqih : Media  Fiqih : Nasehat  Fiqih : Nikah  Fiqih : Nikah & Talak  Fiqih : Puasa  Fiqih : Puasa Sunnah  Fiqih : Shalat  Fiqih : Shalat Jum'at  Fiqih : Sumpah  Fiqih : Waris & Waqaf  Fiqih : Zakat  Fokus : Fatawa  Fokus : Mabhats  Fokus : Waqiuna  Kitab : Al-Ushul Ats-Tsalatsah  Kitab : Aqidah (Syarah Aqidah ASWJ)  Kitab : As-Sunnah  Kitab : Dasar Islam  Kitab : Hari Kiamat (1)  Kitab : Hari Kiamat (2)  Kitab : Kunci Rizki  Kitab : Manhaj Salaf  Kitab : Nikah - Sakinah  Kitab : Nikah Beda Agama?  Kitab : Nikah Dari A - Z  Kitab : Puasa Nabi  Kitab : Qadha & Qadar  Kitab : Rifqon Ahlus Sunnah  Kitab : Shalat Tahajjud  Kitab : Tanya Jawab Al-Qur'an  Kitab : Tauhid Prioritas Utama  Risalah : Anak  Risalah : Do'a & Dzikir  Risalah : Gambar, Musik  Risalah : Hukum  Risalah : Keluarga  Risalah : Orang Tua  Risalah : Pakaian, Hiasan  Risalah : Rizqi & Harta  Risalah : Sakit, Obat
  • 13.  Risalah : Sihir, Dukun  Risalah : Tazkiyah Nufus  Wanita : Darah Wanita  Wanita : Fiqih Shalat  Wanita : Kesehatan  Wanita : Konsultasi  Wanita : Muslimah  Wanita : Thaharah  Wanita : Wasiat © COPYLEFT almanhaj.or.id Seluruh artikel dan tulisan di situs almanhaj.or.id dapat disebarluaskan, dengan mencantumkan sumbernya dan tetap menjaga keilmiahan